Diskusi Publik Lensa Demokrasi : Perlu Rekonsiliasi Pasca Pilpres 2019

Redaksi
3 Jul 2019 21:42
NEWS 0 21
4 menit membaca

Makassar, Matasulsel – Lensa Demokrasi bersama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Perguruan Tinggi (Perti) Fajar dan Indonesia Public Health Committee (IPHC) menggelar diskusi publik dengan tema “Merajut Kembali Persatuan Pasca-Pilpres 2019”. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Trisula, Jalan Boulevard, Makassar, Rabu (3/7/2019).

Hadir empat nasaumber yakni Dekan FISIPOL Unibos, Dr Arief Wicaksono S.IP MA, Pegiat Literasi yang juga Politisi Muda Partai Hanura, Wawan Mattaliu, Anggota DPRD Sulsel yang juga Politisi Muda PAN, Irfan AB serta Ketua PW GP Ansor Rusdi Idrus. Diskusi ini dipandu aktivis HMI Makassar, Irwan AR.

Wawan Mattaliu yang diberikan kesempatan pertama, mengatakan mendiskusikan persatuan Pasca Pilpres 2019 sangat penting. Terminologi cebong dan kampret yang muncul pada momentum Pilpres 2019 lalu, semestinya ada yang cepat menjadi filter kata itu.

Sebab, Pilpres beberapa bulan lalu diakuinya menimbulkan keretakan sosial di masyarakat. Politisi Partai Hanura itu menyebut, persoalan itu dampaknya bisa menjadikan semua pihak sama-sama menanggung susah.

Apalagi, setelah Mahkama Konstitusi (MK) memutuskan gugatan Pilpres dan KPU sudah menetapkan pemenang Pilpres yakni Jokowi-Ma’ruf.

“Maka jangan lagi ada cebong dan kampret,” ujar anggota DPRD Sulsel itu.

Cebong dan Kampret adalah dua kubu dari masing-masing pendukung calon Presiden beberapa waktu lalu. Kedua julukan ini beredar ditengah masyarakat, utamanya di jagat Maya selama Pilpres berlangsung.

Cebong ditunjukkan untuk pendukung pasangan nomor urut satu Jojowi-Ma’ruf dan Kampret untuk nomor urut dua, Prabowo-Sandi. Menurut Wawan yang juga pendukung Jokowi-Ma’ruf ini, kedua kelompok ini saling berselisih di dunia Maya namun tak memiliki solusi.

“Kelas Cebong dan Kampret ini adalah orang-orang menengah keatas. Mereka tidak tahu, beberapa elite yang terlihat bermusuhan di TV, itu kerap nongki bersama di Cafe,” ungkapnya.

Politisi Muda Partai Hanura menambahkan, distribusi hoax terbesar itu dihasilkan dari kalangan kelas menengah contohnya mahasiswa.

“Kelas menengah yang harusnga menjadi filter kegaduhan politik tidak bekerja dengan baik. Namun, dengan melihat hasil politik ini persatuan bukan hanua tanggungjawab pemerintah tapi tanggungjawab kita bersama,” ujarnya.

Sementara, Irfan AB mengaku, retakan yang ada dalam semarak pesta domekrasi ini hanya ada di dunia maya, bukan sesuatu realitas objektif atau terjadi di dunia nyata.

“Bahkan retakan yang terjadi itu saya ibaratkan seperti piramida terbalik dimana kalangan elit itu perpecahannya semakin terasa, tapi dikalangan bawah tidak,” ujar Politisi PAN ini.

“Karena di lingkungan saya tidak ada memutuskan silaturahim. Jadi saya kira, setelah Pilpres, tidak ada lagi yang bilang Jokowi atau Prabowo,” imbau Irfan AB, selaku pendukung Prabowo-Sandi.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tag Populer

Belum ada konten yang bisa ditampilkan.