Abuse of Power Penegak Hukum
Penulis: Ferry Tas, S.H., M.Hum., M.Si (Pengamat & Praktisi Hukum Sulawesi Selatan)
Narasi keadilan dan penegakan hukum senantiasa mengiringi setiap nadir perubahan peradaban manusia. Dalam pandangan teologis Islam, sejak Nabi Adam sebagai manusia pertama diciptakan prinsip keadilan dan penegakan hukum telah diletakkan. Setiap yang melanggar harus mempertanggungjawabkan sesuai dengan perbuatannya. Karena Adam dan Hawa melanggar ketentuan Allah Subhaanahu Wa Ta’aala dengan mendekati dan memakan buah Khuldi, maka keduanya dikeluarkan dari surga.
Al-Qur’an surat An-Nisa’ Ayat 135 mengingatkan yang artinya, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan. Dalam riwayat Rasulullah juga menjelaskan bahwa “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.
Words of Justice ini menjadi bagian untuk menyuarakan keinginan hukum yang adil dari warga dunia. Harapan pada keadilan dan penegakan hukum (law enforcement) yang berlaku tanpa kecuali. Pesan-pesan tersebut juga diharapkan menjadi motivasi bagi siapa saja yang berjuang mencari keadilan dan memegang Amanah sebagai penegak hukum.
Sejalan Filosofi Masyarakat Minangkabau mengingatkan bahwa Alua nan patuik, jalan nan luruih aia janiah artinya “Jalan dengan baik, langkah yang benar.” Bemakna pentingnya pemimpin untuk berjalan lurus dan tidak sewenang-wenang atau menyimpang dari aturan hukum. Sakali aia gadang, sakali tapian baranjak/berubah artinya “sekali air besar yang datang melanda, akan merubah bentuk tepian/pinggir sungai.” Bermakna bahwa kekuasaan bisa merubah keadaan, tetapi juga harus digunakan dengan bijaksana.
Pada hakikatnya antara benar dan salah, hitam dan putih, haq dan batil telah jelas garis demarkasinya. Hanya saja yang membuatnya menjadi abu-abu atau tidak jelas adalah mereka yang memiliki otoritas atau kewenangan dalam penegakannya.
Melihat dinamika dan realitas hari ini teringat pesan Lord Acton bahwa “Power trends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan absolut korup seratus persen). Pernyataan tetap relevan di berbagai konteks, Abuse of power oleh Penegak Hukum menjadi tontonan publik, mencederai harapan dan tuntutan rakyat akan penegakan hukum yang objektif, terencana, terukur dan akuntabel. Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk mencapai kepentingan tertentu dengan melakukan penyimpangan hukum, moral dan etika. Beberapa bentuk abuse of power oleh penegak hukum misalnya suap, korupsi, dan lain sebagainya.
Abuse of power oleh Penegak Hukum menjadi isu yang mengusik penulis tak hanya pada tataran teoritis semata, namun publik telah diperlihatkan penyakit kronis tersebut. Beberapa waktu terakhir peristiwa penangkapan oknum Hakim oleh Kejaksaan Agung telah merusak kepercayaan publik akan dunia peradilan, namun menjadi momentum bersih-bersih dunia peradilan. Penangkapan tersebut telah mengonfirmasi bahwa terdapat masalah yang menuntut segera diselesaikan.
Penangkapan terhadap 3 hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Kejaksaan Agung pada Rabu (23/10/2024), kemudian ZR selaku Mantan Pejabat Mahkamah Agung, dan LR selaku pengacara. Penangkapan tersebut terkait dugaan suap dalam vonis bebas yang diberikan kepada Gregorius Ronald Tannur. Tak sampai pada kasus ini, publik kembali digegerkan dengan penangkapan 4 oknum Hakim, 2 orang oknum pengacara, dan 1 orang oknum panitera dalam perkara suap terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO), deretan peristiwa ini menambah daftar panjang kasus mafia peradilan.
Tindakan mafia peradilan tersebut juga secara nyata telah melakukan obstruction of justice secara bersama-sama dengan tindakan menghalangi atau merintangi proses hukum dengan menyembunyikan kejahatan atau mengaburkan fakta yang sebenarnya, sehingga putusan hakim pada kasus vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dan putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) jauh dari nilai-nilai keadilan. Maka pilihan menerapkan pasal Obstruction of justice kepada pelaku menjadi pilihan yang dapat dilakukan. Dalam hukum Indonesia, obstruction of justice diatur dalam Pasal 221 KUHP dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mafia peradilan menjadi nyata, menyamar dibalik jubah, berakrobat di antara pasal-pasal, dan bertransaksi di ruang pengadilan yang semestinya menjadi tempat memberikan keadilan. Inilah bentuk nyata dari abuse of power penegak hukum.
Peristiwa tersebut bukanlah akhir, namun menjadi momentum untuk berbenah, mengevaluasi setiap kebijakan, demi penegakan hukum yang adil, berkepastian dan memberikan kemanfaatan. Tindakan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dinilai sebagai tindakan memberantas mafia peradilan. Mengingat peran sentral hakim sebagai wakil Tuhan di dunia melalui putusan-putusannya. Setiap putusannya haruslah mencerminkan cahaya-cahaya ketuhanan.
Menanggapi peristiwa mafia pradilan tersebut, wacana Presiden Prabowo untuk menaikkan gaji dan kesejahteraan hakim justru menuai polemik publik, karena kebijakan tersebut dinilai tidak menjamin para hakim untuk terhindar dari tindakan abuse of power. Sejak pemerintahan Presiden Jokowi, selanjutnya di awal masa pemerintahan Presiden Bapak Prabowo Subianto gaji hakim sudah dinaikkan, namun tetap saja praktek suap oknum sang pengadil tidak terhindarkan. Jika pun kebijakan meningkatkan kesejahteraan hakim berupa kenaikkan gaji dilakukan untuk menghindarkan dari praktek menyimpan, maka kesejahteraan Jaksa juga perlu untuk diperhatikan dengan alasan yang sama menjaga integritas dalam penegakan hukum, karena Hakim dan Jaksa memiliki peran yang sentral. Melihat kinerja Kejaksaan Agung yang telah menunjukkan taringnya memberantas mafia peradilan juga perlu untuk dinaikkan gaji dan kesejahteraannya, karena potensi rentan dan tak luput dari bisikan syetan untuk melakukan abuse of power juga menjadi tantangan bagi setiap Jaksa. Maka peningkatan kesejahteraan Jaksa juga sangat penting diperhatikan demi menjaga integritas dan marwah Kejaksaan, terlebih harapan dan amanat rakyat akan penegakan hukum (law enforcement).
Kejaksaan Agung sebagai bagian penting dalam dunia peradilan juga menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran, meningkatkan kualitas dan menjaga integritas dalam penegakan hukum. Kejaksaan tidak hanya sebagai procureur general, tetapi juga sebagai advokad generaal dan solicitor generaal. Kedudukan Kejaksaan sebagai procureur generaal berarti bahwa Jaksa Agung sebagai Penyidik, Penuntut Umum dan Eksekutor Tertinggi. Dari perspektif asas penuntutan tunggal, negara memberikan kekuasaan penuntutan hanya kepada Jaksa Agung. Advocaat Generaal memberikan Kewenangan kepada Jaksa Agung mengajukan pendapat teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam permohonan Kasasi. Solicitor Generaal Jaksa Agung memiliki kewenangan selaku Jaksa Pengacara Negara Tertinggi. Kewenangan dan kedudukan yang diberikan negara kepada Kejaksaan Agung menjadi harapan dan tuntutan terhadap penegakan hukum yang adil. Peran sentral yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung yang juga sebagai dominis litis, memiliki alasan akademik menjadikan Kejaksaan sebagai lembaga yang juga secara langsung mengawasi Aparat Penegak Hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Kinerja Kejaksaan Agung dibawah Kepemimpinan Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak Prof. Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M. mendapat atensi dan perhatian publik terkait dengan kinerja yang mendengarkan nurani rakyat dalam penegakan hukum menjadikan Kejaksaan Agung menjadi lembaga paling dipercaya publik diantara lembaga penegak hukum lainnya. Berdasarkan survei dari Lembaga Survei Indonesia, dalam temuan LSI, Kejagung menjadi lembaga penegak hukum yang paling dipercaya publik dengan dengan nilai 74%, data tersebut berdasarkan survei yang digelar pada 7 hingga 9 April 2024. Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan mengatakan tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan berada di angka 74 persen, mengungguli Mahkamah Konstitusi, pengadilan, Polri, juga KPK. Menurutnya tingginya kepercayaan publik kepada Kejagung dipengaruhi oleh keberanian Kejagung dalam mengusut kasus-kasus high profile, menimbulkan kerugian besar, dan super size. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum yang paling dipercaya publik. Baru-baru ini Kejaksaan Agung kembali mengusut dugaan korupsi PT Sritex yang berlokasi di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng). Sejumlah saksi diperiksa penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Proses penanganan perkara yang terus dilakukan sebagai komitmen dan demi menjalankan kepercayaan rakyat dalam mewujudkan visi besar pemberantasan korupsi.
Kepercayaan publik terhadap Kejaksaan yang begitu besar tentunya sejalan dengan kepercayaan terhadap pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan dalam segala lini. Untuk mencegah abuse of power penegak hukum yang mengakibatkan suap dan korupsi yang meluas, penting untuk membangun sistem pengawasan yang kuat, jaminan perlindungan dan kesejahteraan terhadap aparat penegak hukum, transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara, dan partisipasi masyarakat dalam memerangi korupsi dan memastikan bahwa kekuasaan berada dijalan kebenaran. (*)