AJI Ingatkan agar Verifikasi Media oleh Dewan Pers Tak Langgar Kebebasan Pers
Meski pencanangan awalnya sudah dimulai 7 tahun lalu, verifikasi terhadap media ini ternyata masih memicu perdebatan dan juga penolakan. Malah ada yang menyebut upaya ini sebagai “bredel gaya
baru” karena dikabarkan media yang belum lolos verifikasi terancam tidak akan dibela atau tak dilindungi Dewan Pers jika sedang bersengketa dalam pemberitaan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi yang lahir 7 Agustus 1994 ini, memiliki 36 AJI Kota di seluruh Indonesia, dengan anggota yang terdiri dari jurnalis, kolumnis, dan juga blogger. Menyikapi perkembangan terbaru ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan:
1. Verifikasi yang dilakukan Dewan Pers jangan sampai menimbulkan konsekuensi yang justru bisa mengancam kebebasan pers. Misalnya, tak boleh ada pembatasan liputan atau akses bagi pekerja media yang benar-benar melaksanakan tugas jurnalistik meski perusahaannya belum
terverifikasi Dewan Pers. Media yang belum lolos verifikasi itu,
asalkan benar-benar bekerja sesuai kaidah Kode Etik Jurnalistik, juga harus mendapatkan pembelaan dan tetap dilindungi melalui skema Undang Undang Pers saat menghadapi sengketa pemberitaan. AJI juga menilai
pentingnya Dewan Pers merespon desas-desus yang berkembang di
masyarakat dan stakeholder pers saat ini yang menyebutkan agar narasumber instansi pemerintah diminta hanya melayani media yang
terverifikasi.
2. Perlu ada perbaikan rumusan soal syarat untuk mendapatan verifikasi Dewan Pers. Pengetatan terhadap syarat-syarat itu memang dimaksudkan untuk memastikan bahwa syarat minimal media untuk bisa beroperasi
secara layak, tetap dipenuhi. Namun syarat itu juga jangan sampai menutup peluang bagi tumbuhnya media rintisan (start up), media alternatif, dan media komunitas yang tumbuh belakangan ini. Rintisan
media semacam itu merupakan salah satu cara untuk merawat keberagaman
isi (diversity of content), selain merupakan bagian dari kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang itu juga dilindungi Konstitusi.
Perluasan standar verifikasi, khususnya badan hukum yang mengakomodir
produk jurnalistik di luar perusahaan pers, seperti Perkumpulan,
Yayasan dan Koperasi.
3. Pendataan dan verifikasi terhadap media ini merupakan salah satu
inisiatif untuk menyehatkan pers. Namun AJI menilai perlu ada perbaikan dalam implementasinya. Menurut kami, reaksi beragam
–sebagian bersifat negatif— atas program sertifikasi ini karena kurangnya sosialisasi di komunitas pers. Gambaran utuh soal program
sertifikasi (yang meliputi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya) juga tak tersedia dengan layak. Oleh karena itu, Dewan Pers
perlu duduk bersama stakeholdernya perlu merumuskan dengan jelas soal
verifikasi ini, tujuannya, persyaratan apa saja yang harus dipenuhi
bagi media yang ingin lolos verifikasi, serta ketentuan detail
lainnya. Tujuannya, menentukan persyaratan apa saja yang harus
dipenuhi bagi media yang akan verifikasi, serta ketentuan detail
lainnya. Gambaran jelas soal sertifikasi itu harus disosialisasikan
secara luas, termasuk melalui website Dewan Pers.
4. Meminta Dewan Pers bersama stakeholder pers duduk bersama
merumuskan lebih jelas sejumlah ketentuan dan syarat dalam verifikasi
media. Jika diperlukan, ada review ulang terhadap media yang saat ini
sudah dinyatakan lolos verifikasi. Setidaknya langkah ini untuk
memastikan bahwa ketentuan soal ini dilaksanakan secara konsisten dan
teliti. Sebab, inkonsistensi dalam pelaksanaan verifikasi akan
berdampak langsung atas tercapai atau tidaknya tujuan dari program
ini: mendorong media untuk lebih profesional dan taat kode etik.
Ketua Umum AJI
Suwarjono
Sekretaris Jenderal
Arfi Bambani Amri