Jakarta, Matasulsel | Buruh, NGO, dan BEM pasti terus melakukan koordinasi sebagai sesama non state actor untuk mengkritisi Omnibus Law. Yang jadi permasalahan adalah bagaimana menfasilitasi non state actor tersebut untuk dialog sehingga menjadi masukan positif dalam penyusunan omnibus law. Jika tidak ada dialog maka non state actor akan melakukan langkah penolakan tanpa adanya penyaluran aspirasi.

Demikian dikemukakan Stanislaus Riyanta kepada Redaksi di Jakarta seraya menambahkan, Pemerintah dan DPR harus membuka ruang dialog dengan berbagai cara agar tidak terkesan mengambil kesempatan di tengah pandemi Covid-19 untuk mengesahkan Omnibus Law. JIka ruang dialog bisa dibuka dan ada kesepakatan antara state actor dan non state actor maka omnibus law bisa terwujud, walaupun dengan konsekuensi memerlukan waktu yang labih panjang.

Menurut mahasiswa doktoral Universitas Indonesia ini, penolakan Omnibus Law saat ini dipropagandakan dengan gencar melalui media sosial, aksi-aksi lapangan masih terkendala karena adanya PSBB. Jika PSBB ini selesai maka diperkirakan aksi lapangan terhadap penolakan Omnibus Law akan terjadi.

“Penolakan Omnibus Law saat ini dipropagandakan dengan gencar melalui media sosial, aksi-aksi lapangan masih terkendala karena adanya PSBB. Jika PSBB ini selesai maka diperkirakan aksi lapangan terhadap penolakan Omnibus Law akan terjadi,”ujar pengamat intelijen ini. Penulis Stanislaus Riyanta.(*)

Terbit : Takalar, 25 Juni 2020.