Refleksi lomba video konten literasi Jeneponto

Oleh : Agus Sijaya Dasrum

Aku berjejer tegak, dan tergeletak di sini, di antara sesamaku yang berjajar rapi. Di rak penuh kenangan. Debu tipis sesekali menyentuh sampulku, seiring bisikan waktu yang mengalir di setiap lembarku.
Aku adalah Buku. Bukan sembarang buku, melainkan saksi bisu dari jutaan cerita yang pernah hinggap bersemi, dan kini, aku mengamati.

Dulu, aku adalah dunia bagi banyak pasang mata. Jari-jari mungil meraba halamanku dengan hati-hati, mata-mata berbinar mengikuti jejak aksara yang kutawarkan. Aku merasa hangat, hidup, seolah setiap kata yang kubawa menari di benak mereka, menumbuhkan imajinasi, menyemai empati. Aku adalah sahabat di kala sepi, guru di kala ingin tahu, dan pintu gerbang menuju petualangan tak berujung.

Namun, zaman berputar. Aku melihat layar-layar bercahaya mulai mengambil alih. Jemari yang dulu merabaku kini sibuk menari di atas permukaan kaca. Suara tawa dan decak kagum perlahan beralih ke video pendek yang berkelebat cepat. Aku merasa sedikit terpinggirkan, seperti melodi lama yang pelan-pelan meredup di tengah riuhnya irama baru.

Agus Sijaya Dasrum

Lalu, datanglah mereka. Sekelompok anak muda dengan mata berbinar, membawa semangat baru. Mereka tidak hanya membuka diriku, tetapi juga merekamku, memfilmkan kisahku, dan menyuarakan pesanku. Mereka adalah peserta lomba video konten literasi. Aku melihat bagaimana mereka berjuang mencari sudut pandang, memilih kalimat yang tepat, dan menghidupkan kembali rohku dalam bentuk visual yang memukau.

Aku terkesima. Mata kamera yang mengarah padaku seolah menyelami jiwaku, menangkap esensiku. Mereka bukan hanya membuat video, mereka sedang menciptakan jembatan. Jembatan antara dunia analogku yang sunyi dengan gemerlap dunia digital yang bising. Mereka mengambil intisariku, memberinya nafas modern, dan menyebarkannya ke sudut-sudut bumi melalui layar-layar itu.

Aku bangga. Melalui tangan-tangan kreatif mereka, aku tidak lagi sekadar tumpukan kertas. Aku adalah inspirasi, sebuah ide yang diterjemahkan menjadi gambar bergerak, suara yang bergema. Aku melihat diriku diputar, dibagikan, dan dibicarakan. Mereka menunjukkan bahwa aku, si tua ini, masih relevan. Bahwa kisahku, ilmu yang kusimpan, dan nilai-nilai yang kubawa, takkan lekang oleh waktu, asalkan ada tangan yang mau mengangkatku dan suara yang mau menyampaikannya.

Kini, di rak ini, aku tersenyum. Bukan senyum sendu karena sepi, melainkan senyum bahagia. Sebab aku tahu, di luar sana, berkat konten yang mereka ciptakan, ada banyak mata yang kembali melirikku, banyak tangan yang kembali ingin menyentuhku, dan banyak pikiran yang kembali haus akan cerita dari dalam diriku.

Aku adalah Buku, dan aku takkan pernah mati selama ada jiwa-jiwa yang haus akan pengetahuan dan tangan-tangan yang berani menghidupkan kembali ceritaku. (*)

Jeneponto, 3 Juli 2025