Jakarta, Matasulsel – Beberapa hari ini kita ketahui bersama bahwa kita dikejutkan oleh RUU Omnibuslaw yang mana sudah menjadi isu yang begitu krusial atau sedang diperbincangkan oleh pemerintah dan DPR bahkan sudah menjadi polemik besar bagi bangsa indonesia, karna mengandung kontroversi yang begitu meluas sampai kepada masyarakat secara keseluruhan. Sehingga banyak mendapat dukungan maupun penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat baik itu dari LSM, OKP-OKP begitupun dari Mahasiswa.

Berangkat dari situlah kami yang tergabung dalam ALIANSI MAHASISWA HUKUM INDONESIA (AMHI) hadir untuk bagaimana memberikan narasi serta pikiran kami kepada pemerintah dan DPR bahwa sebelum kami memberikan statemen, sudah ada pembahasan atau kajian mendalam di internal Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia (AMHI) itu sendiri, bahwa ada banyak sekali kekacauan-kekacauan ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law ini disahkan, kami juga melihat dari berbagai sudut pandang bahwa hadirnya omnibuslaw ini secara tidak langsung menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat indonesia secara keseluruhan terlebih lagi kepada pihak Buruh (Pekerja), yang mana ada RUU Omnibus Law Cipta lapangan Kerja (CILAKA).

Jika kita lihat kembali penggunaan konsep Omnibus Law ini menurut kami sepertinya tidak mampu menjawab persoalan tumpang tindih aturan perundang-undangan di Indonesia. Dan masalahnya lagi apakah konsep Omnibus Law ini bisa diterapkan di Indonesia yang menganut sistem civil law/eropa kontinental? Kemudian apakah pemerintah dan DPR sudah memikirkan secara matang apa yang terjadi ketika RUU itu disahkan? Karna konsep ini juga dikenal dengan omnibus bill yang sering digunakan di negara yang menganut sistem common law, seperti amerika dalam membuat regulasi. Nah regulasi ini kemudian dijadikan sebagai satu konsep untuk membuat UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus.

Maka sebelum undang-undang ini di Paripurnakan dan dimasukan ke Lembaran Berita Negara (LBN) maka perlu adanya sosialisai lebih lanjut dan mendengarkan pendapat daripada aliansi-aliansi yang tergabung dalam lingkup negara demokrasi.

Dalam negara demokrasi masyarakat berhak mengetahui apa yang dikerjakan lembaga-lembaga pemerintah, serta memiliki hak untuk turut berpartisipasi dalam jalannya roda pemerintahan.

Seperti yang terjadi dalam penyusunan Omnibus Law, pemerintah justru menyampingkan aspirasi publik yang seharusnya dalam konstruksi negara hukum keterbukaan menjadi hal penting, itu yang membuat kami begitu sangat kecewa.

Karena dalam pengajian kami Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia (AMHI) ada begitu banyak sekali UU yang bertetangan serta merengut hak asasi manusia, seperti contoh menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. Dalam UU ketenagakerjaan, aturan tersebut tercantum dalam pasal 93 huruf a.

Juga diusulkan dihapus izin atau cuti khusus menikah, menikahkan, menghitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (Huruf b) dan pada akhirnya hak buruh bagi perempuan semakin jauh dari mendapatkan hak kesehatan reproduksinya.

Untuk itu kami yang tergabung dalam ALIANSI MAHASISWA HUKUM INDONESIA (AMHI) Memberikan pernyataan sikap kami berisi tuntutan yaitu :

pertama, kami dari Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia menolak secara keseluruhan RUU Omnibus Law.

Kedua, kami dari Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia mendesak kepada DPR segera membahas dan membatalkan RUU Omnibus Law karena bertetangan dengan UUD 1945.

Ketiga, kami dari Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia meminta kepada Presiden segera angkat bicara dan menyatakan sikap membatalkan Omnibus law karna tidak pro terhadap rakyat.

Keempat, kami dari Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia menolak segala macam RUU yang tidak pro terhadap demokrasi. Penulis Abdul Ghofur.(*)

Terbit : Rabu, 6 Mei 2020.

Sumber : Koordinator AMHI.