Sulawesi Selatan, Matasulsel | Sekitar 700 Ratusan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Toraja menggugat (AMTM) PLTA Malea menggelar aksi unjuk rasa di Depan Kantor Pusat PLTA Malea dan Kantor DPRD Kab Tana Toraja. Masyarakat mendesak agar aktivitas pembangunan PLTA malea dihentikan.

Dalam aksi tersebut, sempat terjadi ketegangan antara massa aksi dan pihak kepolisian ketika masyarakat memaksa dan menggeledah Kantor Malea karena pimpinannya tidak menemui masyarakat.

“Kami meminta PLTA malea menghentikan aktivitas pembangunan karena masyarakat sudah merasa sangat diresahkan dari dampak pembangunan, baik dampak lingkungan serta adanya situs budaya yang dirusak dan dihancurkan yang oleh masyarakat Toraja disebut Sapan Deata,”ucap Boron selaku Jenlap.

Ketua Format dalam orasinya mengatakan, Malea telah melakukan pelanggaran berat. “Pengelolaan lingkungan sangat buruk. Dimana limbah seperti oli, material galian, besi-besi, sisah semen dibuang langsung ke sungai sa’dan dimana PLTA malea memang belum memiliki tempat penampungan limbah B3 dan kolam pengendapan,”tegas Heriadi.

“Ini jelas mencemari lingkungan dan melanggar UU 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan peraturan pemerintah No. 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun,”sambungnya.

Ia menambahkan, kami menduga kuat ada persekongkolan antara pemerintah, DPRD dan PLTA Malea karena melakukan pembiaran terhadap kejahatan lingkungan yang jelas sangat mengancam kehidupan masyarakat dari hulu ke hilir.

Oleh karena itu kami meminta kepada DPRD, Pemerintah dan PLTA Malea untuk menghentikan aktivitas pembangunan Malea atau kami akan melakukan pemboikotan (penutupan paksa) dimana sudah 1 Minggu terakhir ini masyarakat sudah melakukan penutupan.

Zem Ziratoki, seorang warga mengatakan bahwa Malea harus bertanggungjawab atas semua masalah yang ditimbulkan, melakukan pemulihan lingkungan hidup, kembalikan situs budaya yang dirusak, ganti rugi lahan yang dirusak, melakukan perbaikan infrastruktur, normalisasi mata air bersih akibat pembuatan terowongan, dan lain-lain.

“Oleh karena itu jangan pernah melakukan aktivitas kalau tuntutan kami belum terpenuhi,”tegas Zem dalam orasinya.

Yudi perwakilan Lembaga Adat Toraja (LAT) mengatakan bahwa Toraja adalah Pariwisata dan Budaya. Kami sangat marah ketika situs budaya atau cagar budaya leluhur kami yang sudah dijaga ratusan hingga ribuan tahun lalu dirusak.

Anto, perwakilan Lembang Buakayu dalam orasinya menuntut agar Pemerintah dan DPRD mengevaluasi izin-izin PLTA malea.

Kami duga bahwa Malea belum mengantongi izin lengkap dalam proses pembangunan yang dilakukan dan berdasarkan surat dari DLH Provinsi pertanggal 19 Juli 2019, Malea telah melakukan pelanggaran yaitu telah melakukan usaha dan atau kegiatan perubahan desain atau penambahan konstruksi yang tidak terlingkup dalam dokumen lingkungan dan izin lingkungan.

“Kami juga meminta agar proses pembebasan lahan ditelusuri ada banyak masalah, sebab dalam proses pembebasan lahan, kami nilai sangat tidak manusiawi dan terkesan diambil paksa,”tegasnya.

Dalam aksi di DPRD Kabupaten Tanpa Toraja, Massa Aliansi Masyarakat Toraja menggugat diterima oleh Wakil Ketua DPRD Tana Toraja, Yohanis Lintin Paembongan, serta Anggota DPRD Semuel Tandirerung, Yan Anggong Kalalembang dan Drs Lita serta perwakilan dari PT Malea Energi, M.Sakur.

DPRD berjanji akan mengagendakan pertemuan lanjutan dengan OPD terkait, DPRD, Pemerintah Kecamatan, Perwakilan Lembang, Tokoh masyarakat, Lembaga Adat Toraja dan Mahasiswa pada Rabu 29 Juli 2020. Namun, Aliansi akan kembali datang dengan jumlah massa yang lebih banyak.(*)