Opini, Matasulsel – Negara kita, sudah 71 tahun di titipkan kepada para bapak bangsa terhitung sejak proklamasi kemerdekaan di kumandangkan.

Tetapi cerita plesetan sering terdengar bahwa ternyata sang proklamator bangsa Soekarno dan bapak bangsa yang lain, hanya mengantarkan rakyat dan bangsa ini hanya sampai pada depan pintu gerbang kemerdekaan saja.

Mungkin sebuah guyonan keputus asaan melihat realita didepan mata, bahwa kemerdekaan tidaklah semua di rasakan oleh rakyat Indonesia.

Mungkin pula karena guyonan itu beberapa daerah terjadi letupan-letupan ingin “Merdeka”, sebab mereka merasa penguasa tidak sama rasa dan sama rata, akan tetapi faktanya adalah bangsa ini telah merdeka dari para penjajah meskipun rasa “terjajah” tetap ada.

Sang proklamator kemerdekaan menyampaikan kepada khalayak bahwa sesungguhnya perjuanganmu yang berat bukan lagi melawan penjajah, akan tetapi perjuangan melawan bangsamu sendiri, dan hari ini kian terbukti.

Setiap hari kita di suguhi berbagai macam berita kebencian, berbagai macam cacian sesama anak “kandung” bangsa, berbagai kelompok dibenturkan, yang alim “disingkirkan” yang batil di “ungsikan”.

Carut marut persoalan bangsa kian hari kian menyayat hati, bukan hanya rakyat biasa lapisan arus bawah yang menjerit, lapisan tengah anak muda atau mahasiswa pun kian tercekik.

Anak muda pengangguran muda saja di temui di tiap sudut kota sampai ke desa, menjeritnya lagi ketika kehabisan “kouta”, perang dari luar dan dalam negeri makin terbuka.

Narkoba, Korupsi, merajalela di depan mata, rakyat kini tak mampu berharap pada sang idola, mungkin karena “susu” yang sering di teriakkan lewat nada pun sisa di tadah.

Hari ini rakyat kepedisan bukan karena kelebihan komsumsi cabe, tapi kekurangan makan cabe, parahnya letupan kecil dari anak muda atau mahasiswa hanya di anggap suara “cabe-cabean” sebuah pengkerdilan dari “corong” penguasa.