Disisi lain, secara garis besar Sekjen MUI Pusat, Anwar Abbas menilai bahwa perubahan pembelajaran agama telah mengarah pada pola transmigrasi, pencarian SDM yang mumpuni, dan pemuka agama membentuk channel sendiri di media sosial.

Namun dengan kemampuan yang belum tentu mumpuni sehingga memunculkan beberapa masalah diantaranya polarisasi, peradaban sekuleristik, dan peradaban religius Islami, pungkasnya.

Di sisi lain Guru Besar Antropologi UGM, Prof. Irwan Abdullah menjabarkan
Internet tidak sekadar ruang yang memberdayakan, tapi juga untuk memenuhi pembelajaran. Agama telah menjadi alat propaganda dari banyak pihak dan menjadi obyek yang diproduksi dan direproduksi untuk kepentingan yang sistemik.

Hal ini dapat menyebabkan misinterpretasi bagi masyarakat dan berisiko terhadap misleading informasi,
bahwa perkembangan internet
dan produk digital telah mengubah konsep agama di masyarakat, baik positif maupun negatif.

Diantaranya, agama dapat menjadi alat dakwah untuk kepentingan tertentu, internet / media digital memudahkan dalam memahami agama, sumber ilmu agama, dan lain-lain, ungkap Prof Irwan.

Sementara itu, Prof Mohd Roslan Mohd Nor (University Of Malaya) menjelaskan, secara umum di Indonesia dan Malaysia mengalami hal yang sama dalam perkembangan era digital.

Kemudahan mendapatkan informasi dapat berbahaya jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang matang tentang agama, karena didunia maya tidak semua penyampai informasi memiliki sanad yang jelas. Tidak seperti saat belajar pada guru maupun kyai, pungkasnya. (*)