Berikut 26 Poin yang Berisiko Melemahkan di RUU KPK
Makassar, Matasulsel – Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan analisis terhadap Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana telah disahkan para rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 17 September 2019 lalu.
Berikut KPK mengidentifikasi 26 persoalan dalam RUU KPK tersebut yang berisiko melemahkan Kerja KPK, yaitu:
- Pelemahan Independensi KPK
- KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif;
- Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari Putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important.
- Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga ada risiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya;
- Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus;
- Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan;
- Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?
- Standar larangan Etik, dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK.
- Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas, sehingga:
- Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya;
- Dewan Pengawas Tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK;
- Sementara itu pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK;
- Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun;
- Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan;
- Salah satu Pimpinan KPK setelah UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun);
- Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh” tahun (Pasal 29 huruf e);
- Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan, karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat2 untuk dapat diangkat.
- Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden. Jika sesuai jadwal maka pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun.
- Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah.
- Pemangkasan kewenangan Penyelidikan
- Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri
- Hal ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan;
- Pemangkasan kewenangan Penyadapan
- Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan
- Penyadapan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi
- i. Jika UU ini diberlakukan, ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu:
- Dari penyelidik yang menangani perkara ke Kasatgas
- Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan
- Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi Bidang Penindakan
- Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan
- Dari Pimpinan ke Dewan Pengawas
- Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu
- ii. Terdapat risiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.
- OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK;
- Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi, yaitu:
Pasal 6 huruf a
KPK bertugas melakukan:
- Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.
Hal ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat tersebut agar tidak menerima suap.
- Ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK
- Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut;
- Ada ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan penyadapan atau menyimpan hasil penaydapan tersebut;
- Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya
- Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus;
- Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi;
- Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri;
- Berkurangnya kewenangan Penuntutan
- Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan penuntutan. Hanya disebut, “dalam melaksanakan tugas penyidikan”, padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap terdakwa.
- Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di penuntutan;
- Dalam pelaksanaan penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait.
- Tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
- Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN;
- Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN;
- Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: e-KTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum.
- Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu. Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa;
- Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
- Hilangnya posisi Penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasihat menjadi Dewan Pengawas atau Penasihat langsung berhenti saat UU ini diundangkan;
- Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11)
- Sesuai dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang meresahkan masyarakat.
- KPK hanya berkedudukan di Ibukota negara
KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri.
- Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan
- Keluhan selama ini tidak adanya sanksi tegas terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur;
- Kendala pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi ini. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius memperkuat kerja pencegahan KPK;
- Kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada lagi. Padahal korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan publik akan disarakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan.
Dua puluh enam poin di atas kami pandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini. Jadi, jika ada pihak-pihak yang mengatakan revisi UU KPK saat ini memperkuat KPK, baik dari aspek penindakan ataupun pencegahan, dilihat dari 26 poin di atas hal tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya.
Selain itu terdapat ketidaksinkronan antarpasal, hingga menimbulkan tafsir yang beragam sehingga menyulitkan KPK dalam penanganan perkara korupsi ke depan. Hal inilah yang kami sampaikan sejak awal, jika proses penyusunan sebuah UU lebih terbuka, melibatkan publik, mendengar masukan instansi terkait seperti KPK dan tidak terburu-buru, maka beberapa resiko persoalan hukum ini bisa diminimalisir.