Makassar, Matasulsel – Ini warning bagi penyelenggara Pilkada untuk menjaga kerahasiaan dokumen nama pendukung paslon perseorangan. Jika bocor, ancaman pidana penjara maksimal dua tahun dan denda Rp20 juta bisa menjerat pelaku.

Nama-nama pendukung yang tertera dalam formulir BW1- KWK perseorangan merupakan informasi yang dikecualikan dan atau dilarang untuk dipublikasikan. Ketentuan tersebut dipertegas KPU dalam SK KPU NO.564/KPU/X1/2015.

Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu berdasarkan UU keterbukaan informasi menegaskan bahwa dukungan pemilih terhadap calon perseorangan dikategorikan sebagai informasi yang bersifat rahasia pribadi.

Pasal 22 (e) ayat 1 UUD 1945 menyebutkan sifat rahasia dalam Pemilu termasuk yang tersifat azas untuk melindungi pemilih terhadap kemungkinan yang berakibat buruknya yang dapat mengancam jiwa dan raga atas pilihan politiknya.

Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) juga mengatur ketentuan pidana bagi siapa saja yang membocorkan informasi yang dikecualikan atau rahasia negara dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 20 juta

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan penyelenggara Pemilu disemua tingkatan harus menjaga dengan baik dokumen pasangan calon independen saat melakukan verifikasi faktual di Lapangan, jika bocor, ancaman pidana penjara maksimal dua tahun dan denda Rp20 juta bisa menjerat pelaku.

Nama-nama pendukung yang tertera dalam formulir BW1- KWK perseorangan merupakan informasi yang dikecualikan dan atau dilarang untuk dipublikasikan. Ketentuan tersebut dipertegas KPU dalam SK KPU NO.564/KPU/X1/2015.

Pakar Hukum dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Hamzah yang dikonfirmasi mengatakan, jika dokumen pasangan calon, termasuk bukti dukungan bocor, maka oknum penyelenggara bisa saja dipidanakan.

Apalagi, jika kebocoran itu diluar dari tahapan yang ada dalam PKPU. “Iya jelas (pidana) diaturan itu kan, itu dokumen negara itu. Dan itu tanggung jawab KPU, jadi kalau bocor, orang KPU yang harus dicari tau kenapa bisa bocor,” kata Prof Hamzah, pada Selasa (12/12/2017).

Apalagi jika dokumen itu bocor sebelum masuk tahapan verifikasi faktual. Menurut Prof Hamzah, mestinya data belum dikeluarkan sebelum tahapan verifikasi faktual.

“Kan tahapannya jelas di PKPU. Kalau misalnya KPU sudah turunkan ke bawah (dokumen itu), di bawah itu sama siapa, dan ditahap mana bocor, itu kan jelas, berkas itu sama siapa pada saat bocor, itu kan harus dicari tau,” tuturnya.

Prof Hamzah menjelaskan, dalam tindak pidana itu harus secara personal, sehingga siapapun penyelenggara pemilu yang membocorkan dokumen paslon, maka oknum tersebut yang harus bertanggung jawab.

“Kalau komisionernya yang melakukan, maka komisionernya yang dipidana, kalau stafnya, maka stafnya yang harus dipidana, begitu yah. Kan di KPU belum tentu komisionernya yah, bisa saja stafnya yang bocorkan atau sebagainya,” ucapnya.

Dia menjelaskan, semestinya format BW1-KWK dukungan perseorangan, hanya bisa dipeganh oleh KPU, Bawaslu, pasangan calon dan pemberi dukungan. “Itu saja yang empat elemen itu, tidak boleh bocor,” tandasnya.(*)