Abd. Fajar Daeng Rasang (Pegiat Literasi)

Buaya liar yang memasuki pemukiman rumah masyarakat Antang masih belum kelar pemberitaannya, buaya itu bahkan telah menelan korban.

Masih terekam jelas bagaimana proses penangkapan Buaya liar ini melibatkan banyak orang dan membuat semua orang menghilangkan sejenak rasa marah akibat banjir yang memasuki rumah-rumah mereka. Setidaknya banjir kali ini memberi mereka tontonan yang jarang ditemukan.

Belum terlalu jelas darimana buaya liar ini berdiam selama ini, yang kita ketahui hanyalah bahwa banjir parah kota dunia Makassar menggiring buaya itu masuk ke pemukiman yang berlokasi di Kampung Kajang, buaya yang telah ditangkap oleh warga itu diserahkan ke Damkar Kota Makassar yang selanjutnya dibawa ke Cimori.

Setelah viral di media sosial buaya ini dikunjungi oleh berbagai macam orang, ada yang hanya sekedar penasaran ingin melihat buaya secara langsung, ada juga yang datang mengaku sebagai kerabat dekat.

Kerabat dekat buaya inilah yang memulai berbagai macam ritual dan menerka-nerka isi kepala sang buaya, hingga pada akhirnya pada suatu malam sang buaya tiba-tiba mengamuk dan menerkam seorang kakek tua yang diyakini sebagai pawang buaya. Lengan kanannya patah dan hampir putus.

Karena biaya operasi sebesar empat puluh juta rupiah itu tidak ia sanggupi, maka terpaksa ia kembali kerumahnya dalam keadaan lengan yang parah.

Banyak yang menyayangkan adanya korban yang diterkam oleh buaya liar itu, netizen terutama sangat ketus dengan ulah para kerabat buaya. Hanya karena keyakinan tentang cerita leluhur yang sulit diverifikasi kebenarannya itu mereka menjadi buta terhadap keadaan rasionalnya.

Masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya banyak yang mempercayai mengenai cerita rakyat seperti ini, mereka menganggap air yang keluar bersamaan dengan kelahiran seseorang mengalir ke sungai menjadi buaya dan dianggap sebagai saudara kembarnya.

Alasan inilah yang dikemukakan oleh Prof Nurhayati sebagai jalan leluhur menjaga alam, orang-orang di sungai tallo telah lama meyakini bahwa mereka ialah salah satu dari keturunan buaya. Pada prinsipnya upaya leluhur dalam mengelola cerita rakyat dengan tujuan tertentu sangatlah bermanfaat pada masa itu.

Seperti halnya ketika perkawinan fenemenologis antara manusia dengan alam yang digambarkan oleh beberapa masyarakat tradisonal ketika mengalami sebuah kelahiran, mereka akan menyimpan ari-ari anaknya pada pohon, dan berpesan bahwa pohon sebagai mahluk hidup yang serupa saudara yang harus dijaga.

Sebagai landasan filosofis dalam upaya menjaga alam tentu hal-hal seperti ini perlu dilestarikan, tapi tidak melulu soal buaya, bisa juga anjing, monyet, dan yang lainnya.

Ditengah riuh cerita soal buaya ini, saya merasa perlu membaca ulang “Sapiens” buku karya Yuval Noah Harari. Buku yang bercerita tentang asal muasal manusia ini telah dengan lantang menjelaskan bahwa manusia adalah homo sapiens yang secara genetika dan struktur tulang belulang begitu sangat dekat dengan kera.

Anehnya pemikiran tentang manusia yang berkerabat dengan kera ini sangat ditentang oleh manusia, termasuk masyarakat yang bermukim di Sulawesi Selatan.

Barangkali memang kecintaan masyarakat tradisional kita pada mistik tidak pernah benar-benar pudar, sementara dibelahann dunia lain Elon Musk telah berhasil menerbangkan roketnya keluar angkasa.

Tan Malaka dalam madilog mengatakan sumber utama yang menghambat kemajuan bangsa Indonesia terletak pada kepercayaannya terhadap logika mistika, jalan satu-satunya untuk keluar dari irasional yang terkondisikan seperti ini adalah pemerataan pendidikan.

Namun apalah daya, negara harus memangkas anggaran demi makan siang gratis yang belum selesai.

Sebagai orang yang tumbuh besar dari lingkungan manusia yang mempercayai cerita rakyat tentang buaya, saya jadi rindu dengan nenek. Ia juga pernah secara tidak langsung mengancam saya untuk tidak bermain di kolong jembatan sungai Belokallong dengan mengaku bahwa buyutnya adalah kembaran si buaya putih.

Esoknya saya berdiri dipinggir sungai menyaksikan kawan kawan memanjat pohon mangga dan bergantian melompat ke sungai yang indah tanpa sampah. Buaya putih itu tak kunjung datang, barangkali ia pergi menjaga sungai tetap berair.(*)