Catatan Jurnalis Tentang Cakka: Berbaur Tanpa Ada Sekat dengan Rakyatnya
Kami pun berangkat. Perjalanan meninggalkan Belopa, berjalan lancar. Memasuki wilayah Kecamatan Bajo Barat, mulailah jalan berbatu. Sesekali rombongan juga mampir. Menghadiri panggilan sekadar ngopi dari beberapa warga. Dari tokoh masyarakat hingga masyarakat biasa.
Dari beberapa rumah warga yang disinggahi, suguhan kopi tumbuk dan baje kacang kenyal yang menjadi menu kesukaan saya bersama teman media. Kata Sudirman, suasana dan makanan tradisional seperti itu yang sulit dilupakan.
Juga mengingatkan akan kampung halaman, Soppeng. Yah, sahabat yang juga sudah saya anggap sebagai guru tersebut merupakan putra Soppeng yang di tugaskan Harian Tribun Makassar mengawal liputan di Luwu Raya kala itu.
Memasuki wilayah Kecamatan Latimojong, di sanalah nyali kami dan khususnya saya diuji. Betapa tidak, hujan yang mulai mengguyur membuat kami yang menumpangi mobil bak terbuka harus bisa menahan kedinginan. Becek, berlubang dan juga berbatu menjadi pelengkapnya. Terkadang terhempaskan ke kiri lalu ke kanan. Diperhadapkan dengan pemandangan jurang yang menganga. Seakan membisikan kata siap menerkam kami. Sesekali saya harus teriak ‘uwak’. Muntah karena mabuk jalan.
“Hancur saya. Goyangannya bikin tobat. Sudah terasa lama sekali perjalanan. Masih jauh kah. Kalo masih begini, tobat saya menginjakkan kaki ke Latimojong,” keluh saya kepada teman-teman.
Sepanjang jalan di Kecamatan Latimojong kala itu bagi saya memang masih terbilang menantang dan melelahkan. Jangankan kendaraan roda empat, roda dua sejenis motor trail pun harus bersusah payah menembus ganasnya medan yang kadang terjal dan menikung tajam. Salah oper gigi, bisa-bisa masuk jurang.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan sekira 12 jam, kami pun tiba di ibukota Kecamatan Latimojong. Semua basah. Tidurpun harus dengan pakaian basah. Sesekali saya mencoba menghibur diri dengan memeluk senior saya, Irwan Musa. Yang membuatnya kadang berteriak. “Sama-samaki batangan dayat,” kata Irwan dengan nada kesal saat suara jangkrik kian bersahutan petanda malam semakin larut.
Yang jadi pertanyaan bagi saya adalah seperti apa perasaan dan fisik orang nomor wahid di Kabupaten Luwu itu. Menjajaki pelosok negeri dengan mengendarai motor sendiri. Tak ada pelayanan khusus dan lebih. Tanpa protokoler. Mengalir begitu saja sesuai permintaan rakyat.
Ketika hujan, kebasahan dan kedinginan. Ketiga terik, kepanasan. Ketika jalan berlumpur, jangan coba di belakang atau sampingnya, pasti Anda akan kotor. Sebab, salah satu keusilan dan cara beliau menghibur rombongan adalah berpura menunggu rombongan dan jika sudah dekat maka menancap gas motornya sehingga otomatis lumpur berhempasan dan mengotori siapa saja di dekat beliau.
Di tempat tujuan terkadang harus tidur beralaskan sarung. Sekaligus sebagai penghangat tubuh. Saat jamuan makan, semua berbaur tak sekat. Sungguh berat pengabdian yang diberikan kepada rakyat. Jika belakangan ini banyak bermunculan berita pejabat merasakan goyangan menuju pelosok negeri, maka itu hanyalah cerita yang dibuat-buat. Sebab, jika melihat style parlente dengan baju kain rapih berpadukan sepatu pentopel, bahkan ada dengan pasilitas helikopter, maka saya yakin bahwa mereka tidak mampu melakoni apa yang dilakukan.
Bupati Luwu dua periode dan kini bakal calon wakil gubernur Sulsel tersebut. Hampir sepuluh tahun suasana itu menjadi pewarna masa pengabdiannya untuk negeri. Sudah saatnya pemilik nama lengkap Ir Andi Mudzakkar MH tersebut naik tahta lebih tinggi di tingkat provinsi. Demi melanjutkan pembangunan untuk yang lebih mandiri, berdaya saing, tentunya lebih macakka. (*)