Opini, Matasulsel – Pada 6 Agustus 2016, sekitar jam 12 malam waktu Yogyakarta hujan rintik mengguyur kota pelajar ini. Sunyi dan tenang. Sesekali guntur mengeluarkan suaranya tapi saya tidak mempedulikan suara itu. Sebab suara Adele dengan lagunya, All I Ask mengaburkan semua suara di sekitar saya.

Tepat satu semester saya bergerilya membantu Gus Muhidin M. Dahlan, penulis novel “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” di Warung Arsip. Syukur, satu kesempatan yang tak terkira bahwa saya langsung menimba ilmu kepadanya. Setiap hari saya mengarsip koran-koran lama di Warung Arsip, dari masa Tirto Adhi Soerjo hingga sekarang kita dapat mengaksesnya di sini.

Saat saya sedang asik mengarsip koran Star Weekly, 1960, saya menemukan biografi yang tidak asing bagi saya. Sebut saja Florence Nightingale, tokoh perempuan yang mengejawantahkan dirinya menjadi juru rawat. Profesi yang ditantang orang tuanya, sebab profesi itu adalah profesi rendahan. Rendah dalam artian tidak meraup keuntungan secara keuangan.

Flo sadar bahwa jalan yang ia tempuh bukanlah jalan seperti kalangan mudi lainnya. Walau jalan ini adalah jalan kemanusian, suatu saat penyakit dari pasien akan tertular. Dan benar adanya bahwa Flo terkena Demam Krim, Encok, dan Ischias (Penulis tidak mengetahui secara spesifik penyakit ini seperti apa).

Saya menyebut Flo ini adalah perempuan keras kepala. Coba simak percakapan Flo bersama kedua orang tuanya.

“Ibu, Ayah, saya ingin jadi juru rawat.”

“Kau gila, nak!”

“Barangkali memang begitu. Hanya dapat saya katakan terima kasih kepada Tuhan untuk kegilaan itu.”

Sebagian mahasiswa keperawatan di kampus negeri atau swasta memiliki orientasi bahwa setelah menyelesaikan masa belajar, mereka akan mendapat pekerjaan dengan cepat dan meraup gaji yang tinggi. Orientasi yang sangat pragmatis.

Saya tidak melebih-lebihkan bahwa menjadi perawat atau ada keinginan menekuni jalan melelahkan ini. Kita membutuhkan satu pemikiran gila untuk menerobos pemikiran sempit yang telah lama tertanam di pola pikir masyarakat. Adalah perawat pembantu dokter, ini pemikiran yang sangat sempit.

Flo telah membuktikannya bahwa perawat tidak sekadar “babu” yang disangkakan sebagian dari kita. Pada 21 Oktober 1854, Flo berlayar ke jazirah Krim untuk menjalankan jalan kemanusiaan. Karena Dokter tidak mampu mengurusi prajurit Inggris yang banyak berjatuhan di medan perang. Maka Flo bersama juru rawat lainnya yang turun tangan menangani semua pasien di tenda-tenda dari pihak Inggris.

Di saat peperangan berkecamuk itu, Flo tidak melalaikan waktu. Flo menulis surat kepada pemerintah untuk mengakomodasikan segala kebutuhan medis. Prajurit-prajurit yang melihat Flo sibuk merawat pasien terheran. Bagaimana bisa ia masih dapat menulis beratus-ratus pucuk surat. Surat-surat yang kadang-kadang sangat pedas, untuk menyadarkan orang-orang sebangsanya.