Makassar, Matasulsel – Sejumlah aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel menggelar unjukrasa di Kantor DPRD Sulsel, Selasa (10/4). Mereka menuntut pembatalan nota kesepahaman alias MoU antara Pemprov Sulsel dan PT Yasmin Bumi Asri terkait megaproyek Center Point of Indonesia (CPI). Dengan demikian, reklamasi pesisir pantai Makassar yang dinilai banyak merugikan segera dihentikan.

Pergantian gubernur diharapkan aktivis lingkungan menjadi momentum untuk menghentikan reklamasi CPI. Berakhirnya masa tugas Syahrul Yasin Limpo yang digantikan Soni Sumarsono selaku Penjabat Gubernur Sulsel membuka harapan baru. Toh, Soni memiliki kewenangan untuk menghentikan reklamasi yang merugikan lingkungan dan masyarakat kecil.

Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin, membeberkan tuntutan pihaknya menghentikan reklamasi CPI melalui kajian panjang. Reklamasi pesisir pantai Makassar bukan cuma merusak lingkungan, tapi juga melanggar secara aturan. Banyak regulasi yang belum dipenuhi, termasuk MoU antara Pemprov dan PT Yasmin tidak memiliki landasan aturan yang kuat.

“Kami tidak pernah berhenti berjuang, tuntutan kami masih sama yakni hentikan reklamasi CPI dan kerjasama Pemprov-PT Yasmin. Kami sudah lakukan kajian terhadap MoU itu, ya memang tidak punya landasan aturan. Mumpung sekarang ada penjabat gubernur yang punya kewenangan, kami minta untuk mempelajari ulang dan kalau bisa mencabut izin itu (reklamasi),” kata Al Amin.

Menurut Al Amin, bila MoU Pemprov Sulsel dan PT Yasmin dibatalkan, maka otomatis reklamasi bisa dihentikan. Diharapkannya penjabat gubernur bisa menerima aspirasi aktivis lingkungan yang mewakili suara masyarakat kecil. Sudah banyak bukti bahwa pelaksanaan reklamasi CPI terkesan dipaksakan dengan melabrak banyak aturan.

Al Amin membeberkan sejumlah aturan yang belum terpenuhi atas pengerjaan megaproyek CPI. Mulai dari Ranperda tentang Kawasan Strategis Provinsi hingga Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). “Semua aturan itu belum disahkan, lalu Pemprov Sulsel bikin MoU (dengan PT Yasmin). Ini kan tidak aturan yang mengikat,” ujarnya.

Megaproyek CPI sendiri sejak lama menjadi sorotan. Bukan hanya dari aktivis lingkungan, tapi juga pegiat anti-korupsi. Megaproyek yang digagas di zaman pemerintahan SYL itu diketahui tengah diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelidik KPK telah beberapa kali turun langsung ke Makassar untuk melakukan pengumpulan data dan bahan keterangan.

Megaproyek CPI yang digarap sejak 2009 diduga merugikan negara hingga Rp15 triliun. Pada periode 2009-2012, sebanyak 12 perusahaan rekanan telah mengerjakan penimbunan, pengerukan, pemasangan tiang pancang, dan jembatan sebanyak Rp 116.148.560.000 dari APBD. Potensi kerugian negara tersebut mengacu pada langkah swasta yang melakukan komersialisasi lahan sebagai pemenang tender dalam proyek itu.

Kemudian pada 2013, PT Yasmin melakukan penimbunan untuk pembuatan lahan 157 hektare untuk reklamasi CPI. Dan saat itu dilakukan pembangunan jembatan dengan anggaran Rp23 miliar dan pemasangan tiang pancang 137 meter dan timbunan batu gajah 181 meter yang menggunakan APBD Rp 13.620.500.000.

Pembuatan jembatan itu senilai Rp23 miliar dipinjam Pemprov Sulsel dari Pinjaman Investasi Pemerintah (PIP) sebanyak Rp500 miliar.

Setelah itu, Pemprov Sulsel kembali mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 8 miliar untuk pembangunan jembatan dan Rp40 miliar untuk desain wisma negara di kawasan CPI. Dan pada 2015, pembangunan fisik wisma negara mulai dikerjakan dengan alokasi dana APBD Rp60 miliar.

Lalu, pada 2016, Koalisi Masyarakat Anti Korupsi menemukan dokumen perluasan kawasan CPI menjadi Kawasan Pusat Bisnis Terpadu Indonesia seluas 1.466 hektare, sehingga berdasarkan data yang ditemukan ada 2.054 hektare akan direklamasi. (*)