Demokrasi adalah bahasa cantik yang terbelah, Demos dan Kratos

Opini, Matasulsel – Mungkin dua kata yang terpenggal diatas sedikit aneh dan tidak booming di kalangan para diskursus sosial. Tetapi kalimat itu begitu santer dan greget mengingat variabel-variabel sosial yang terkait dengan kata tersebut. Tatkala proses ideologi sosial dan politik menjadi tema kajian dibeberapa kelas-kelas sosial. George Ritzer (sosilog) menyebutnya bahwa kondisi sosial sangat dibentuk sejauhmana obyektivitas mewujudkan dirinya, termasuk bagaimana hukum sosial menyampaikan pesannya.

Nah, dalam masa revolusi sains yang bergerak terus menerus (suistanable), maka keadaan sosialpun begitu kompleks. Persoalan kemanusiaan yang dikemas dalam kehidupan politik yang lebih terbuka. Tak heran perang dunia kedua sebagai petanda runtuhnya hegemoni sosialisme di timur dan menjadi kebangkitan kapitalisme di barat, mungkin inilah yang dimaksudkan Francis Fukuyama dalam anasirnya The End Of History, dan juga menjadi asumsi pembenar bagi Max Weber dalam The protestan etiknya dengan kalimat bahwa kapitalisme adalah spirit dan penggeraknya.

Dua perseteruan ini kemudian menggiring pelahiran anasir di kawasan dunia ketiga termasuk Indonesia. Gelombang demokrasi ketiga sebagaimana besutan pemikiran Samuel P Huntington, meneguhkan bahwa krisis ideologi di beberapa negara justru menjadikan Demokrasi sebagai bargaining bagi pengelolaan tata dunia yang lebih baik, ketika ideologi, lenin, marx, leiser faire, monokrasi, teokrasi gagal menjadi sistem ideal bagi kehidupan negara. Maka demokrasi menjadi pilihan alternatif.

Demokrasi adalah bahasa cantik yang terbelah, Demos dan Kratos, dua kata dibalik istilah demokrasi. Demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan, jadi demokrasi secara etimologi adalah pemerintahan rakyat (from, by, for poeple) dari, oleh dan untuk rakyat. Ini menegasikan bahwa tata kelolah pemerintahan sesungguhnya adalah pengejawantahan dari nurani dan kedaulatan rakyat.

Namun secara terminologi makna demokrasi lebih pada keterbukaan (transparancy). Demokrasi oleh sebagian orang dianggap sebagai “peretas keterkungkungan”. Tetapi dalam kehidupan yang serba digital dan kompleks perang transformasi informasi demikiian cepat tanpa kecerdasan digitalisasi kemungkinannya akan mengubur kehidupan manusia.

Sebab, sudah bisa dibayangkan kalau suatu kehidupan negara dimana rakyat tanpa pemerintahan maka tentu akan berlaku homo homoni lupus manusia akan menjadi pemangsa bagi manusia yang lainnya, dimana hukum rimba sulit ter-elakkan. Kesenjangan sosial semakin sulit dibendung, soal local comnunity seperti kemiskinan semakin menjadi tontonan. Masalah kesehatan, pendidikan, pengangguran, justru menjadi wabah kronik dalam kehidupan masyarakat, sebab korpus sosial begitu dikendalikan oleh kekuasaan.

Karenanya, bukankah saat ini kebenaran menjadi lemah ketika opini, wacana, emosi dan keyakinan menjadi dominasi ditengah kehidupan masyarakat ? klaim-klaim kebenaran menjadi tak estetik untuk menjadi jalan tengah berkehidupan dalam kebangsaan, yang sejatinya kebenaran menjadi hal penting menuju tata kelolah dunia dan negara yang baik. Inilah fenomena Post Truth dimana fakta tak lagi berpengaruh dibanding opini, wacana, emosi dan keyakinan personal. (*)

 

Andi Ilham Samanlagi
Peneliti di OGIE Institute Research and Political Development.**