Oleh: ANDI DICKY HARDIANSYAH

Perang tarif China-AS bukan sekadar pertarungan dua raksasa ekonomi, tapi juga ujian nyata bagi ketahanan Indonesia menghadapi gelombang proteksionisme global. Ketegangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat (AS) terus memanas seiring dengan saling balas kebijakan tarif yang dikenakan kedua negara. Konflik yang berawal dari kebijakan proteksionisme AS di era Donald Trump ini tidak hanya memengaruhi hubungan bilateral kedua negara, tetapi juga mengguncang stabilitas ekonomi global. Sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan dari perang dagang ini.

Menurut data Bank Dunia, perang tarif ini telah mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5% pada 2023. Sementara itu, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa eskalasi konflik lebih lanjut dapat memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Bagi Indonesia, situasi ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengevaluasi ketahanan dan strategi ekonominya.

Salah satu efek langsung dari perang tarif ini adalah perubahan pola perdagangan global. China dan AS merupakan dua mitra dagang terbesar Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke AS mencapai 18,5 miliar pada 2023, sementara ke China menyentuh 65 miliar. Dengan adanya tarif tambahan, komoditas Indonesia bisa terkena imbas, terutama jika permintaan dari kedua negara tersebut menurun.

Di tengah ketidakpastian yang melanda pasar global, Indonesia dihadapkan pada dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada peluang emas untuk menarik investasi asing yang mungkin dialihkan dari China akibat tingginya tarif ekspor. Beberapa sektor, seperti manufaktur dan industri pengolahan, berpotensi mendapatkan limpahan investasi tersebut. Selain itu, produk- produk ekspor Indonesia seperti tekstil dan turunan kelapa sawit bisa mengambil alih pasar yang ditinggalkan oleh produk China di AS.

Namun, di sisi lain, gejolak perdagangan ini juga membawa ancaman serius. Sektor-sektor yang selama ini menggantungkan ekspor pada permintaan global, seperti karet dan baja, bisa mengalami penurunan signifikan akibat melemahnya perdagangan internasional. Ketergantungan Indonesia pada pasar China dan AS juga membuat perekonomian nasional rentan terhadap fluktuasi kebijakan kedua negara.

Misalnya, China merupakan tujuan utama ekspor komoditas Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit. Jika permintaan China menurun akibat perlambatan ekonomi, dampaknya akan langsung terasa pada neraca perdagangan Indonesia. Oleh karena itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah krusial untuk mengurangi ketergantungan ini.