Selain itu, produk ekspor Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan turunan kelapa sawit bisa mengambil alih pasar yang ditinggalkan oleh produk China di AS. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa ekspor tekstil Indonesia ke AS meningkat 12% pada 2023, didorong oleh tarif yang lebih tinggi pada produk sejenis dari China. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ruang untuk memperluas pangsa pasarnya jika mampu memanfaatkan momentum dengan baik.

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Langkah seperti percepatan hilirisasi industri dan perluasan kerja sama dagang patut diapresiasi. Sayangnya, upaya ini belum maksimal jika melihat realitas di lapangan. Infrastruktur logistik yang buruk dan regulasi yang tumpang tindih masih menjadi momok bagi investor. Tanpa perbaikan fundamental, kebijakan strategis hanya akan jadi wacana.

Selain itu, Indonesia aktif menjajaki kerja sama dengan pasar baru di Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Perjanjian dagang dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Afrika Selatan adalah contoh upaya untuk mengurangi ketergantungan pada China dan AS.

Namun, upaya ini belum maksimal jika melihat realitas di lapangan. Infrastruktur logistik yang buruk, regulasi yang tumpang tindih, dan birokrasi yang berbelit-belit masih menjadi penghambat utama dalam menarik investasi dan meningkatkan ekspor. Menurut laporan World Bank Ease of Doing Business 2023, Indonesia masih berada di peringkat 73 dari 190 negara, dengan birokrasi dan kepastian hukum sebagai masalah utama.

Meskipun demikian, langkah-langkah tersebut belum cukup jika tidak dibarengi dengan peningkatan daya saing industri dalam negeri. Infrastruktur logistik yang masih tertinggal dan birokrasi yang berbelit-belit sering kali menjadi penghambat utama dalam menarik investasi dan meningkatkan ekspor. Tanpa perbaikan mendasar di sektor-sektor ini, Indonesia berisiko hanya menjadi penonton dalam persaingan ekonomi global.
Perang tarif antara China dan AS seharusnya menjadi wake-up call bagi Indonesia untuk mempercepat reformasi ekonomi. Diplomasi perdagangan harus lebih agresif membuka pasar baru, sementara kebijakan dalam negeri perlu difokuskan pada penciptaan iklim usaha yang lebih kompetitif. Jika tidak, Indonesia akan terus terjebak dalam ketergantungan pada dinamika ekonomi global yang tidak pasti.

Jika Indonesia gagal memanfaatkan momentum ini, bukan hanya peluang yang hilang, tapi juga kedaulatan ekonomi yang terus tergadaikan. Indonesia tidak hanya bisa bertahan dari dampak perang dagang, tetapi juga bisa muncul sebagai pemenang dengan ekonomi yang lebih tangguh dan mandiri. (*)