Dijadikan Alat Pencitraan, Warga Bongkar “Kegagalan” Smelter di Bantaeng
“Rakyat itu merasa tidak puas. Karena cara pembeliannya Pemda, lain maunya dan Investor lain maunya. Akhirnya hanya Rp18.000 per meter persegi,” kata dia.
Dia mengaku harga itu saangatlah rendah untuk pembelian lahan. Apalagi peruntukannya untuk proyek raksasa. Dia mempertanyakan harga Rp18.000 itu. “Justru itulah pertanyaan kita,” katanya.
Bahkan dia memprediksi, proyek ini tidak akan jalan selama Pemda masih angkuh untuk tidak membayarkan hak-hak rakyat. Seperti pembebasan lahan, serta upah kerugian pekerja.
“Masih banyak masyarakat yang bermukim di area KIBA itu. Sementara rencananya akan menggunakan zat merkuri. Zat ini bisa saja mematikan. Makanya, tidak boleh ada pemukiman warga yang berjarak minimal 7 KM dari area,” katanya.
Menurut Hamra lagi, orang luar Bantaeng sudah banyak yang terlena dengan proyek Smalter itu. Padahal, lanjutnya ini hanya framing pemerintah sebagai modal pencitraan. Bahkan, menurutnya wacana yang berkembang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
“Ini mi yang selalu saya pertanyakan. Coba kita ke lapangan. Tempatnya di mana dan titiknya itu smalter,” tegasnya.
Lebih jauh dia membeberkan, bahwa dua perusahaan smalter yang selama ini digembor-gemborkan NA sudah berproses tak sesuai fakta.
“Proses berfungsi atau tidak hanya PT Huady Nikel Alloy dan PT Titan Mineral Utama yang tahu. Yang berproses pelabuhannya untuk sarana kapal saja masih tahap pembenahan. Pabrik masih belum selesai,” tegasnya.
Bagaimana tanggapan NA? Kepada wartawan yang sempat mengonfirmasinya, Juru Bicara NA, Bunyamin, justru mengaku masalah dengan warga terkait pembayaran tidak ada hubungannya dengan bupati lagi. (*)