Disinformasi Terkait RUU Omnibus Law
Keenam, disinformasi: jaminan produk halal. Faktanya: jaminan tidak hilang tapi dipercepat dan tetap harus ada campur tangan MUI juga lembaga lain yang bisa membantu mempercepatnya.
Ketujuh, disinformasi: sentralisasi kewenangan hanya di tangan presiden. Faktanya: Indonesia memang sistem presidensial, kekuasaan eksekutif ada di presiden dan terdistribusi ke Pemprov/Pemkab/Pemkot sesuai undang-undang.
Kedelapan, disinformasi: pemerintah pusat bisa mengubah peraturan perundang undangan dengan PP. Faktanya: Tidak seperti itu, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak mungkin PP mengatur PP. PP menerjemahkan untuk lebih teknisnya.
Pentingnya tranparansi dan kejujuran
Masih terjadinya disinformasi terkait RUU Omnibus Law ditengah-tengah masyarakat menunjukkan bahwa RUU ini mendapatkan atensi yang meluas dan mendalam di banyak kalangan, karena dampaknya terhadap perekonomian nasional ke depan, termasuk masalah penyediaan lapangan pekerjaan.
Munculnya disinformasi ini juga disebabkan kurang dibukanya pintu dialog dan partisipasi publik pada saat penyusunan naskah akademik dan draft dari RUU Omnibus Law ini, sehingga wajar akhirnya masing-masing orang memiliki persepsi masing-masing, atas dasar pengetahuannya yang dimilikinya masing-masing.
Namun yang pasti, pembahasan RUU Omnibus Law ini akan berlangsung lama, karena daftar inventaris masalah (DIM) dari 9 Fraksi yang ada di DPR RI belum ada, apalagi ditambah dengan mewabahnya Covid-19 membuat pembahasannya diperkirakan akan lama, termasuk resistensi di tengah masyarakat juga perlu pendekatan persuasif yang berkelanjutan agar tidak berkepanjangan.
Last but not least, juga diperlukan adanya transparansi dan kejujuran dalam pembahasannya nanti ke depan, dengan membuka partisipasi publik selebar-lebarnya. Semoga. Penulis adalah Mubdi Tio Thareq kolumnis di beberapa media massa.(*)