Efek Domino Politik Identitas Pasca Pemilu 2019
Jakarta, Matasulsel – Perhelatan Pesta Demokrasi Pemilu 2019 telah selesai. Para anggota legislatif terpilih baik di tingkat nasional maupun daerah sudah mulai memberikan sumbangsih pemikiran dan aksi nyata sebagai wakil rakyat. Sementara, Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih Joko Widodo dan Ma’ruf Amin telah membuktikan 100 hari kerjanya memimpin Kabinet Kerja II. Pemilu Serentak 2019 merupakan pemilu pertama dimana Pilpres dilaksanakan secara bersamaan dengan Pileg 2019.
Namun efek domino pengaruh politik identitas yang muncul pada Pemilu 2019 masih sangat terasa dan bagi sekelompok komunitas nampaknya menjadi sebuah isu yang akan selalu hangat untuk digulirkan, apabila ada suatu ketidakpuasan kepada Pemerintah.”
Eksploitasi politik identitas masih kerap ditemukan baik melalui media sosial, pertemuan terbatas bahkan kegiatan terbuka seperti Reuni Akbar, sehingga pelaksanaan Pemilu 2019 yang aman dan demokrasi seakan masih mempunyai efek domino pengaruh dari politik identitas tersebut. Padahal, Pemilu merupakan manifestasi konkret dari demokrasi prosedural.
Pemilu Serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan perebutan suara pemilih Muslim. Meskipun, sebagai Negara yang mayoritas penduduknya Muslim, memperebutkan suara Muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap Pemilu.”
Eksploitasi politik identitas nampaknya akan kembali muncul pada Pemilu Serentak Tahun 2020, karena kecendrungan peta politik saat ini lebih mengedepankan membangun popularitas dan meningkatkan elektabilitas, dibandingkan dengan penguatan kader terbaik. Selain itu, partai politik maupun para kontestan masih bersandar pada praktik politik pragmatis yakni segala cara digunakan demi meraih kemenangan dalam Pemilu.
Politik identitas merupakan salah satu perwujudan keliru dari political marketing activity. Sebagai contoh yakni upaya mobilisasi perempuan melalui narasi simbolik “Emak-Emak” sebagai sebutan bagi perempuan pendukung Paslon Prabowo-Sandi, sedangkan sebutan “Ibu Bangsa” merupakan panggilan untuk perempuan yang berada di barisan pendukung Paslon Jokowi-Ma’ruf.
Kedua labelitas terhadap pemilih perempuan ini akan terus muncul dan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya patriarki yang masih berkembang di masyarakat. Pengalaman pelaksanaan dari Pemilu ke Pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama yakni perilaku distortif, melanggar hukum dan cenderung menghalalkan semua cara (vote buying). Padahal, demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai “Pemerintahan Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk Rakyat”.
Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead (1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi.
“Ia tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan.
“Dalam diisertasi Haedar Nashir, Islam Syariat : Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia (2007) ada beberapa kelompok yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya.
Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tata hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan yang dicirikan dengan semangat keagamaan tinggi hingga berhaluan keras.
Kedua, selama pelaksanaan Pemilu 2019, media sosial baik WA dan Facebook juga dimanfaatkan untuk menyebarluaskan politik identitas dan mempertajam polarisasi ditengah masyarakat dengan menebar kebencian massa terhadap lawan politiknya, dengan mengangkat isu-isu negatif lawan politiknya seperti kasus amoral, pengarusutamaan isu kesukuan atau SARA dan kasus korupsi lawan politik.
Media sosial menjelma ruang yang kian penting bagi orang Indonesia untuk berdebat dan membahas isu-isu ini, dari percakapan pribadi di WhatsApp hingga diskusi terbuka di Facebook dan Twitter. Peneliti media Merlyna Lim menyebut diskursus media sosial seputar Pilgub DKI Jakarta 2017 sebagai unjuk “kebebasan untuk membenci.”
Outcome yang ingin dicapai dengan menciptakan politik identitas dan polarisasi dalam masyarakat adalah beralihnya dukungan massa dari lawan politik menjadi basis massa yang militan, karena mereka sudah dihinggapi dengan kebencian terhadap tokoh yang sebelumnya mereka dukung.”
Menurut Serge Moscovici dan Marisa Zavalloni dalam Journal of Personality and Social Psychology mengatakan, menajamnya polarisasi sosial memang menjadi sasaran aksi-aksi massa sehingga diharapkan dapat menarik lebih banyak anggota masyarakat untuk “berpihak” pada aspirasi mereka.
Dalam artikel berjudul “Mencegah Polarisasi Politik Pasca-Pilpres 2019 Semakin Tajam” yang ditulis Whisnu Triwibowo (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia) menyimpulkan, pertarungan yang belum selesai ini berlanjut pada Pilpres 2019 dan semakin diperparah dengan beberapa faktor: Perselisihan antara kedua kelompok ini berlanjut pada tataran legislatif dan eksekutif.
Partai-partai oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi. Berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik yang muncul dalam ranah publik atau media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog publik.
Isu pembangunan jalan tol di Jawa, misalnya, menjadi isu partisan antara kedua kelompok. Perdebatan antara “tol milik Jokowi” dan “rakyat tidak makan infrastruktur” tidak bisa dihindari tanpa ada diskusi substantif terkait isu yang lain seperti tarif dan penggunaan fasilitas jalan tersebut. Politik partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti di DKI Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2017 diidentikkan dengan kemenangan kubu Prabowo.
Para ahli berpendapat kemenangan Anies disebabkan penggunaan politik populis yang juga dipakai Prabowo. Pendekatan menggunakan isu agama sebagai senjata terbukti ampuh untuk meraih kemenangan.
Pemanfaatan isu SARA dan Ormas keagamaan juga teridentifikasi telah dimanfaatkan sebagai komoditas politik mendeskreditkan “lawan”, sehingga legitimasi event Pilkada sebagai momentum pesta politik strategis nasional demi keberlangsungan estafet roda pemerintahan negara menjadi terancam. Sedangkan, Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS) diskenariokan sebagai gerakan politik yang menghalalkan penggunaan politik identitas untuk meraih tujuan pragmatisme politik.”
Kondisi ini menunjukkan adanya degradasi pengaruh tokoh prominen yang menyebabkan meraka mempolitisasi isu-isu agama, SARA dan isu berbau politik identitas lainnya. Menilik kepada pendapat Donald Stokes (1963) terkait elektabilitas yang menyatakan kuat lemahnya elektabilitas calon dalam kontestasi politis sangat ditentukan atau merujuk pada kekuatan atomik calon dalam menarik dukungan dalam artian apakah calon memiliki karisma ditengah masyarakat, popularitas yang positif atau memili reputasi bersih dari korupsi. Jadi, penggunaan politik identitas jelas menunjukkan karena pelakunya kurang memiliki kriteria elektabilitas yang dikemukakan Stokes.”
Untuk itu, pada pelaksanaan Pemilu selanjutnya yakni Pilkada Serentak Tahun 2020 agar tidak berkembanganya politik identitas maupun kelompok yang kontra Pemerintah, agar semua pihak senantiasa menyadari pentingnya nilai-nilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa. Jangan sampai gambaran dikotomi rivalitas kedua Paslon masih terbawa hingga mengarah pada pembelahan sosial yang cukup tajam.”
Tumbuhnya rasa saling percaya di antara penyelenggara pemilu, parpol dan masyarakat menjadi syarat utama terbangunnya demokrasi yang berkualitas dan penopang terwujudnya stabilitas politik dan keamanan dalam masyarakat. Secara teoretis konflik atau sengketa dalam pemilu bisa diredam jika peserta pemilu (parpol), penyelenggara pemilu, pemerintah, dan institusi penegak hukum mampu menunjukkan profesionalitas dan independensinya, tidak partisan dan memiliki komitmen yang tinggi dalam menyukseskan pemilu, sehingga pelaksanaan Pemilu dapat berjalan lancar dan dapat menekan angka golput dalam setiap Pemilu.
Penulis : Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) dan Fordial