Fahri Bachmid Mendorong Amandemen ke-5 Konstitusi UUD 1945
Opini, Matasulsel – Sejak UUD 1945 dilakukan Amandemen ketiga, kedaulatan tidak lagi berada di MPR tetapi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945 Pasca Amandemen namun impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden masih didasarkan secara penuh kepada keputusan politik MPR sehingga ketentuan Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” menjadi semu dan tidak jelas, karena dalam praktiknya bukan hukum yang berdaulat tetapi politik.
Berdasarkan kritik prosedural dan kritik substansial dengan alasan-alasan teoritis, yuridis serta belajar dari pengalaman proses pemakzulan di Korea Selatan serta mempertimbangkan paradigma perubahan konstitusi maka penulis menggagas alternatif perubahan yang dapat dilakukan :
Alternatif
Perlu disusun proses pemakzulan untuk tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana dalam satu hukum acara tersendiri semacam special prosecutor yang dibentuk secara khusus untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang digelar oleh MK.
Dibutuhkan tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti sehingga bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B harus terukur dan terbingkai oleh norma-norma yuridis.
Mahkamah Konstitusi memiliki peranan yang sangat strategis pemegang kekuasaan kehakiman yang memberikan legitimasi dalam perspektif yuridis atas tafsiran mengenai tuduhan yang dijatuhkan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada proses pemakzulan dengan obyek sengketa pemeriksaan MK terhadap pendapat DPR jika putusan MK “membenarkan pendapat DPR” maka proses selanjunya DPR meneruskan ke MPR hanya untuk diresmikan.
sistem pemerintahan presidensial yang kuat, stabil, dan efektif. didukung pelembagaan mekanisme checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Suatu UU dapat tetap berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan presiden sehingga suatu kebijakan bisa di-fait accompli oleh DPR meski belum tentu sesuai dengan kepentingan nasional.
Prinsip ckecks and balances sesuai konstitusi hasil amandemen dalam relasi DPR sebagai representasi rakyat dan DPD sebagai representasi wilayah (teritori) maka obsesi presidensialisme perlu didukung struktur perwakilan bicameral yang kuat dengan memperjelas kedudukan DPD satu kamar dari sistem perwakilan dua-kamar.
Untuk mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial maka presiden yang mendapat mandat dan legitimasi langsung dari rakyat dierikan semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disepakati DPR (bersama pemerintah).
Adanya koherensi dan konsistensi dari konstitusi hasil amandemen dengan kedudukan dan kelembagaan MPR seharusnya merupakan majelis nasional, wadah sidang gabungan (joint session) DPR dan DPD sehingga menghindari pendapat adanya tiga lemabaga di parlemen yakni, MPR, DPR, dan DPD.
Kesimpulan
Pemakzulan presiden bersifat prosedural institusional melewati 3 (tiga) lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK) serta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) masing-masing dengan kewenangan berbeda. Khusus mengenai “putusan” MK tidak bersifat final dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap DPR dan MPR tetapi hanya sebatas menjadi pertimbangan hukum bagi DPR dan MPR. Sesuai obyek sengketa yang menjadi fokus pemeriksaan, MK akan memberikan 3 (tiga) kemungkinan putusan tafsir yuridis; Pertama, amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kedua, permohonan ditolak dan Ketiga, membenarkan pendapat DPR.
Putusan akhir mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap berada di tangan MPR sebagai lembaga pemutus (eksekutor) sedangkan MK hanya bertindak sebagai juri untuk menentukan apakah tuduhan DPR memiliki landasan konstitusional atau tidak.
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Pasca Amandemen hanya bermakna bahwa putusan MK tidak dapat dilakukan upaya banding, hal ini akan berbeda jika setelah kata final diikuti kata mengikat,
Usulan
Untuk menghadirkan putusan MK sebagai putusan hukum yang dapat berlaku efektif, maka ke depan harus dilakukan beberapa langkah; Pertama, pemahaman yang baik dari segenap penyelelenggara negara akan arti pentingnya MK sebagai satu-satunya penafsir resmi UUD 1945, dan Kedua, penyempurnaan UUD NRI Tahun 1945 Pasca Amandemen, khususnya terkait dengan ini, maka ketentuan Pasal 24C ayat (1) dibelakang kata final ditambahkan kata dan mengikat.
Mekanisme dan hukum acara yang lebih rinci mengenai pemakzulan presiden, baik di tingkat DPR, Mahkamah Konstitusi maupun MPR.
Perlu dan penting untuk dilakukan Amandemen kelima UUD NRI Tahun 1945 sepanjang menyangkut dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.