Jakarta, Matasulsel – Pada tanggal 8 Mei 2019, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan resmi menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam,secara teknis yuridis Dalam SK tersebut diketahui bahwa tugas Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam meliputi tiga hal prinsipil,antara lain yaitu:

Pertama, melakukan kajian dan asistensi hukum terkait ucapan dan tindakan yang melanggar hukum pasca-pemilihan umum serentak tahun 2019 untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum.

Kedua, memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kajian hukum sebagaimana hasil kajian dan asistensi hukum sesuai kewenangan dan

Ketiga, Menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas tim kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan selaku Ketua Pengarah, dari segi optik hukum hal ini harus dibaca sebagai sebuah Instrumen Hukum Administrasi, yang tidak boleh mereduksi materi muatan kaidah hukum dasar tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih fundamental, (staatsgrundgesetz), apalagi SK Menkopolhukam dimaksud juga bukan merupakan rumpun jenis peraturan perundang-undangan atau yang disebut “Formell Gesetz” maupun jenis aturan pelaksana/aturan otonom “Verordnung & Autonome Satzung”.

Hal tersebut secara teoritik berpotensi menimbulkan kekacauan sistem hukum serta bangunan struktur ketatanegaraan berdasarkan desain konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), yang mengacu pada konsep ajaran Trias Politika, jika berdasarkan perspektif hukum tata negara dengan merujuk pada ketentuan norma Pasal 24 Ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yang rumusanya berbunyi:
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang, Maka sejatinya segala kewenangan atributif sebagai turunan dari ketentuan pasal 24 ayat (3) UUD 1945, sepanjang mengenai badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu Kepolisian dan Kejaksaan yang secara konstitusional melaksanakan mandat hukum tersebut yang kaitanya dengan kewenangan “Pro Justicia”, khususnya pada konteks penegakan hukum pidana, sesuai perundang-undangan yang berlaku,sehingga berpijak pada kaidah hukum dasar tersebut idealnya Surat Keputusan (SK) Nomor 38 Tahun 2019 menjadi kehilangan legitimasi yuridisnya serta sifat keberlakuanya.

Mengingat apa yang dimaksudkan dari tujuan SK dimaksud merupakan suatu pengaturan yang bersinggungan dengan yurisdiksi penyelenggara Kekuasaan Kehakiman itu sendiri, apalagi orientasi mendasar dibalik tujuan pembentukan Tim Adhoc tersebut sangat bertentangan dengan kaidah demokrasi dan hak asasi manusia, yang penekananya adalah kebebasan berpikir dan berpendapat kelompok warga negara yang telah secara tegas diatur dan dijamin oleh konstitusi, sebagaimana ternyata diatur dalam pasal 28 Jo pasal 28E Ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945.