Oleh: Susi Susanti, Kader Himpunan mahasiswa Islam Cabang Takalar

Mengulang lagi, 23 April diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Mungkin lebih tepatnya kita akan menemukan pertanyaan seberapa peduli pemuda dengan peringatan ini dan seperti apa sikap pemuda menanggapi momentum ini.

Segelintir orang mungkin saja menjadikan momentum ini sebagai ajang refleksi kepada siapapun yang berkecimpung diranah Pendidikan Perguruan Tinggi.

Mahasiswa dan pemuda ibarat dua mata koin yang tidak terpisahkan. Sejatinya,  Mahasiswa dalam sejarahnya adalah motor perubahan.  Bukan hal yang berlebihan rasanya jika kita coba menerawang sejauh apa upaya mahasiswa hari ini menanggapi momentum seperti Hari Buku Sedunia.

Kita perlu sepakat bahwa satu satunya cara memperbaiki nalar seseorang ialah memiliki banyak referensi bacaan. Apalagi hari ini, tidak ada lagi yang sulit kita temukan. Bacaan tersedia di segala sudut pijakan bumi, baik lewat media elektronik, media cetak, perpustakaan daerah, perpustakaan kampus dan tempat-tempat strategis lainnya yang bisa dijadikan wadah untuk komsumsi bacaan.

Jika kita coba mengintip realitas, yakin dan percaya kita akan menemukan kejadian yang tak jarang ada mahasiswa tidak memiliki buku sama sekali di tasnya ketika hendak masuk kuliah. Kalaupun ada, mungkin paksaan dari dosen pengampuh mata kuliah yang mewajibkan mahasiswa untuk memiliki satu atau dua buku pada mata kuliah yang dibawakan, adapula mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan sekali seminggu. Kalaupun mengunjungi, itu karena ada tugas mendesak dari dosen pada suatu mata kuliah.

Fenomena paling familiar ditemukan ialah ada yang mampu berjam-jam betah memandangi layer handphone, sambil bermain game console.

Penelitian Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca masyarakat. (dilansir dari its.ac.id) Sebab, memang notabene, dari kalangan mahasiswa yang dikenal sebagai actor yang lebih ilmiah dari masyarakat awam lainnya minat bacanya sangat minim.

Hal ini juga diperkuat dari sisi lama membaca, Menurut Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Woro Titi Haryanti menyebut kajian minat baca dilakukan di 28 kota/kabupaten di 12 provinsi dengan 3.360 responden. Hasilnya ialah 63% membaca 0-2 jam per hari, 31% membaca 2-4 jam, 4% membaca 4-6 jam, 2% membaca lebih dari 6 jam. (Data Perpusnas 2015).

Sepanjang kritik yang terlontar, kita patut bersyukur bahwa masih ada beberapa mahasiswa yang hendak menularkan dan menguatkan budaya literasi. Misalnya saja, tiada hari tanpa pengadaan lapak buku, bedah buku bahkan pelatihan-pelatihan menulis buku dari lembaga internal maupun eksternal kampus. Ini tentu tujuannya, tidak lain untuk menjaga eksistensi literasi di Indonesia. Daras-daras seperti ini yang patut diapresiasi.

Kita pada dasarnya menyadari bahwa hingga detik ini semangat memerangi kebodohan dalam diri terkadang masih tersandera oleh kemalasan. Namun disisi lain kita juga meyakini bahwa membaca buku adalah alat menuju kecerdasan.

Bijaknya, Paling tidak membacalah dulu, buku apapun itu. “Ala biasa karena terbiasa.

Selamat Hari Buku Sedunia!