Firdaus mengungkapkan, survei-survei palsu, hoaks, dengan mencatut nama lembaga tertentu, tentunya sangat berbahaya. Namun, sejauh ini belum ada regulasi yang bisa menertibkan hal ini.

“Kita hanya bisa mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dengan survei-survei seperti ini. Hal ini tentu juga merugikan lembaga-lembaga yang betul-betul turun melakukan survei,” kata Firdaus.

Terpisah, Pakar Politik Universitas Hasanuddin, Lukman Irwan, menyebut, selain survei hoaks atau palsu, juga marak beredar survei pesanan.

Lembaga survei kadang tidak transparan pada aspek pendanaan terkait siapa yang mendanai survei yang dilakukan, sehingga ini biasanya akan menghasilkan data hasil survei yang dimanipulasi untuk kebutuhan dan kepentingan politik pihak yang mendanainya.

“Lembaga survei sekarang ini sudah juga sekaligus menjadi lembaga konsultan politik yang bekerja untuk memberikan pendampingan kepada peserta pemilu yang olehnya hasil survei yang dirilis biasanya tidak lagi taat pada prinsip-prinsip metodologis yang ketat. Hasil survei disetting sedemikian rupa untuk kebutuhan dan kepentingan mempengaruhi pilihan pemilih kepada calon yang didampinginya,” bebernya.

Menurut Lukman Irwan, lembaga survei yang terbukti merilis data survei yang tidak memenuhi kaidah akademis ini seharusnya mendapatkan sanksi yang tegas dari lembaga asosiasi yang menaunginya, dan juga menjadi bahan evaluasi bagi KPU untuk tidak memberikan izin lagi dalam merilis hasil survei dalam satu periode kontestasi.

Akademisi Unhas ini juga berharap masyarakat dapat tetap berpikir secara kritis terhadap hasil-hasil survei yang muncul, sehingga dapat melakukan perbandingan dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang dirilis oleh sebuah lembaga survei.**