Opini, Matasulsel – Diskusi ringan di salah satu grup whatshapp saya, menginspirasi saya mengetik perlahan tulisan ini. Dialognya cukup sederhana, temanya ngawur saja, lebih banyakan ngakaknya.

Kebetulan kami bertiga yang aktif ngobrol adalah para pemilik portal online. Biar lebih elegan sedikit, ini adalah diskusi para direktur.

” Saya kira besok ada lagi kopi kak?? Direktur paling muda mencoba memprediksi aktivitas esok hari.

Saya lebih fokus memperhatikan kata kopi yang diucapkannya dibanding isi agenda nongkrong esoknya.

Komentar tentang kopi itu memantik deretan tulisan ini. Kata ‘kopi’ mewakili sebuah kalimat bahwasanya besok akan ada aktifitas nongkrong lagi di warung kopi.

Mungkin itu masih lazim, layaknya ucapan ngeteh di pagi hari. Tetapi semakin jauh obrolan berjalan, muncul ide membuat portal berita bernama kopinews.com.

Direktur paling tua dengan segera mencaplok ide itu. Kami pasrah karena memang selain paling senior, beliau pada faktanya paling produktif menghiasi dinding-dinding portalnya dengan tulisan.

Fenomena kopi telah masuk dalam teks-teks literasi, menjadi idiom dan bahkan menjelma menjadi rumah literasi.

Bagi saya ini adalah hegemoni baru dalam dunia paradigma. Kopi dijadikan sebagai tema diskusi budaya, kopi dijadikan sebagai filosofi kehidupan dan lebih ekstrim lagi kopi telah dibandingkan dengan agama.