Impor Beras, Bro Rivai: Pemimpin Harus Paham Konsep Ketahanan Pangan
Makassar, Matasulsel – Rencana Pemerintah RI mengimpor 500 ribu ton beras dari Vietnam dan Thailand dianggap sebagai tanda-tanda kegagalan pemimpin pusat seperti menteri yang terkait dan pemerintah daerah dalam memperjuangkan program swasembada beras nasional.
Pakar politik dari Universitas Indonesia, Abdul Rivai Ras menilai gonjang ganjing isu impor beras menunjukkan bahwa kemandirian dan keadaulatan pangan RI mulai tergerus selama 3 tahun terakhir karena pemimipin tidak mampu memahami secara utuh dan mengaktualisasikan konsep Ketahanan Pangan.
“Kementerian terkait seperti yang mengurusi bidang Pertanian selama ini misalnya selalu membangun opini-opini berlebihan bahwa kita surplus beras. Nyatanya, data faktual dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa stok beras kita justru tidak aman. Menurut saya, kebijakan impor beras ini adalah indikasi kegagalan pemimpin yang mengurusi hal ini dalam menyukseskan program swasembada Jokowi-JK,” tandas Bro Rivai–sapaan akrab Abdul Rivai Ras, Selasa (16/1/2018).
Fakta mencengangkan ini diperkuat hasil pantauan lapangan yang dilakukan Ombudsman RI pada 10-12 Januari 2018. Ombudsman menyimpulkan persediaan beras nasional pas-pasan serta tak merata.
Berdasarkan data Ombudsman, sembilan provinsi yang selama ini menjadi lumbung pangan juga mengalami inflasi harga beras. Provinsi itu adalah Aceh, Jambi, Bengkulu, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Sementara ada 13 provinsi yang mengalami penurunan pasokan beras seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Hanya 8 provinsi memiliki pasokan cukup stabil dan tidak mengalami inflasi harga beras yakni
DI Yogyakarta, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat.
”Kemajuan pembangunan di bidang infrastruktur dan industri ternyata tidak mampu menopang ketahanan pangan karena secara faktual lahan sawah mulai berkurang dan bahkan dukungan irigasi tak kunjung hadir karena imbas proyek yang tidak sepenuhnya berjalan mulus seperti kasus bendungan di Jeneponto yang mandek,” paparnya.
Menurut data Kementan bekerjasama dengan BPS, produksi padi sejak tahun 2016 sampai 2018 diperkirakan selalu surplus diatas 2 persen. Produksi tahun 2018 diprediksi mencapai 48 juta ton, dengan kebutuhan rerata konsumsi beras nasional per tahun 42 juta ton.
Berdasarkan asumsi itu, maka seharusnya Indonesia mengalami surplus yang cukup yakni sekitar 6 juta ton. Tapi, sejatinya asumsi itu tidak cukup valid untuk menyatakan bahwa negara surplus beras. Sebab, pola tanam dan waktu panen berbeda-beda di setiap daerah sehingga ketersediaan beras tidak selalu ada setiap waktu.
“Karena itu ke depan konsep ketahanan pangan harus dipahami oleh pemimpin daerah agar perencanaan pembangunan dapat memberi keseimbangan terhadap ketersediaan lahan pertanian, termasuk pengelola atau penggarap yang memanadai,” imbuh Bro Rivai. (*)