Oleh : Prof. Wardah Nuroniyah (Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Selama empat hari yang penuh refleksi dan kajian, saya menjalani sebuah perjalanan penelitian di Belgrade, Serbia, dengan misi memahami moderasi beragama dalam konteks yang lebih mendalam. Penelitian ini bukan sekadar akademik, melainkan upaya untuk mengurai simpul persoalan intoleransi agama yang telah menjadi tantangan global. Intoleransi, sebagaimana saya yakini, tidak pernah muncul dari ruang kosong. Ia berakar pada jejak-jejak sejarah, politik, dan kebudayaan yang membentuk identitas suatu bangsa.

Di Serbia, saya menyaksikan jejak sejarah yang rumit—dari era Kekaisaran Romawi, perang Balkan, hingga perpecahan Yugoslavia. Identitas bangsa Serbia, yang terus berkembang, menjadi pelajaran penting bagaimana agama seringkali terjalin erat dengan dinamika politik dan militer. Dari Museum Yugoslavia hingga Gereja Santo Sava, saya merasakan bagaimana masa lalu bangsa ini tetap hidup dan berpengaruh terhadap pola pikir masyarakatnya.

Dalam dialog bersama diaspora Indonesia, Mufti Serbia, serta pejabat pemerintah Serbia, saya menemukan bahwa moderasi beragama bukanlah konsep yang bisa diterapkan secara seragam. Setiap komunitas memiliki konteks unik yang harus dipahami dengan pendekatan fenomenologis. Sebagai contoh, program dialog antaragama Serbia-Indonesia yang telah berlangsung lima kali perlu terus dievaluasi dampaknya, baik pada diaspora Indonesia di Serbia maupun pada pemahaman antarbangsa.

Serbia memberi kita pelajaran penting bahwa agama, meskipun menjadi sumber kedamaian, juga bisa menjadi alat kekuatan politik. Gereja Ortodoks Santo Sava, yang megah dan menjadi simbol keimanan Serbia, juga menyimpan sejarah kelam penghancuran pusaka keagamaan sebagai akibat dari pemberontakan. Ini menunjukkan bahwa intoleransi seringkali berakar pada konflik sejarah yang belum terselesaikan.

Indonesia, sebagai bangsa dengan keberagaman agama yang luar biasa, memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah intoleransi. Moderasi beragama, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Agama Nasaruddin Umar, harus didesain dengan epistemologi yang lebih kokoh dan inklusif. Ini bukan hanya untuk internal bangsa, tetapi juga agar Indonesia dapat berperan lebih besar dalam menjaga perdamaian dunia.

Sebagai akademisi, saya menyadari bahwa moderasi beragama harus bersandar pada pemahaman lintas-sejarah. Di Indonesia, kita perlu menggali kembali nilai-nilai keindonesiaan yang menyatukan, sambil belajar dari bangsa lain seperti Serbia yang terus mencari keseimbangan dalam identitasnya. Moderasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses terus-menerus yang membutuhkan kolaborasi, pemahaman, dan komitmen.

Mari kita wujudkan Indonesia yang tidak hanya menjadi teladan dalam toleransi, tetapi juga menjadi garda depan dalam menjaga perdamaian dunia, sebagaimana amanah konstitusi kita. Karena sejatinya, intoleransi tidak berakar dari ruang kosong, melainkan dari sejarah yang perlu terus kita pahami dan selesaikan bersama.