Jadi Narasumber di Bimtek Pengelolaan Medsos KPU, Simak Pemaparan Ketua JOIN Jeneponto
Produk jurnalistik dihasilkan oleh jurnalis yang memiliki kompetensi. Mereka sudah mengerti dalam pembuatan produk jurnalistik, sehingga akurasinya dapat dipercaya.
Sementara medsos, lanjut Arifuddin produksi informasinya bisa berasal dari orang atau warga yang membagikan informasi, dan sebagian besar tanpa narasumber yang jelas.
“Misalnya saat ada suatu kejadian, foto, atau video, akun media sosial sudah bisa menyebarkan itu karena dianggap akan banyak yang membaca atau melihatnya, tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya,” ungkap Arifuddin.
Sistem kerja di perusahaan pers atau media massa pastinya sudah jelas. Karena terdapat struktur dalam pemuatan berita di antaranya ada jurnalis, editor yang akan memperbaiki informasi dari jurnalis, redaktur, dan pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab produk berita yang dihasilkan.
Tanggung jawab di perusaahan pers tentunya berjenjang dari jurnalis hingga pemimpin redaksi. Hal ini sering disebut sebagai pertanggungjawaban model “air terjun”.
Sedangkan di medsos, sistem kerjanya mungkin tidak ada. Karena cukup satu orang saja sudah bisa menghasilkan informasi untuk diunggah ke akun medsosnya. Otomatis, tidak ada sistem pertanggungjawaban seperti halnya di perusahaan media massa.
Setiap jurnalis dalam memproduksi berita maupun produk jurnalistik lainnya memiliki batasan-batasan atau rambu, yaitu kode etik jurnalistik. Kode etik ini wajib diterapkan sebelum berita diterbitkan agar terhindar dari sengketa pers.
Bagaimana dengan medsos? Untuk mengunggah suatu informasi tidak diperlukan adanya batasan. Punya foto atau video menarik sudah bisa diunggah di akun medsos.
Hal ini jugalah yang membuat update informasi terbaru lebih cepat di medsos daripada media mainstream. Jika ada perstiwa pada detik ini, maka tidak sampai lima menit informasinya sudah bisa muncul di medsos. Sedangkan media mainstream paling cepat 30 menit hingga 1 jam. Karena di dalamnya ada proses, setelah berita itu dikirim oleh jurnalis ke meja redaksi, maka editor dan redaktur wajib mengeceknya. Baru setelah itu dipublikasikan.
“Penggiat media sosial ada baikny/a juga belajar mengenai etika jurnalistik agar informasi yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik. Hati-hati terhadap jerat UU ITE jika salah dalam membuat postingan. Jika seorang jurnalis dilindungi oleh UU Nomor 1999 Tentang Sengketa Pers, sedangkan para penggiat media sosial bisa langsung dipidanakan,” pungkas Arifuddin dalam pemaparannya. (*)