Makassar, Matasulsel – Bulan emansipasi menjadi sebutan masyarakat indonesia ketika memasuki bulan April, dimana bulan tersebut adalah bulan kelahiran sosok perempuaan pelopor lahirnya kebangkitan kaum hawa.

RA. Kartini adalah perempuan kelahiran Jepara 21 April 1879 yang memiliki cita – cita untuk mewujudkan semangat emansipasi atau persamaan hak perempuan dan laki-laki yang sampai hari ini semakin dirasakan oleh perempuan.

Saai ini, telah banyak kita jumpai sosok kartini yang meneruskan perjuangan – perjuangannya, baik secara pribadi maupun melalui organisasi perempuan yang fokus perjuangannya untuk membebaskan diri dari perbudakan, kekerasan, pelecehan dan keterbatasan akses dalam dunia pendidikan dan kerja.

Namun ditengah bangkitnya perempuan – perempuan Indonesia saat ini hingga menjadi tokoh nasional, bahkan menjadi pemimpin dan menempati posisi strategis dalam dunia kerja ternyata diluar dari itu, masih banyak perempuan dalam cengkraman kekerasan baik secara batin maupun fisik. Kekerasan ini merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik (psikis) pada orang lain.

Di tahun 2017 terdapat hampir 260.000 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang di laporkan data komnas dari sekian banyak kasus laporan tersebut 173 diantaranya perempuan dibunuh, 95% dibunuh oleh laki – laki. Terkhusus di sulawesi selatan kekerasan fisik masih mendominasi terdapat 679 kasus. Diantaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tercatat 281 kasus, kekerasan seksual 241 dan kekerasan psikis 341 kasus.

Dari sekian banyak data laporan tersebut masih banyak yang belum terlapor ke lembaga pelayanan. Ibarat fenomena gunung es, yang terlihat hanya sebagian kecil saja, jauh lebih banyaknya kasus yang tidak diketahui dibandingkan data yang diketahui.

Melihat angka TKP tersebut dinilai sangat memprihatinkan salah satu dampak dari KP timbulnya gangguan pada sikologi perempuan sehingga muncul depresi akibat luka jiwa yang dialaminya. Meski jelas adanya aturan UU KPKDRT no. 23/2004 kendati demikian dalam proses penerepannya memiliki banyak tantangan, karena budaya masyarakat yang menempatkan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki dilihat dari dominannya laki-laki dalam pengambilan keputusan, pembangunan, dan ekonomi. Paham ini yang biasa disebut budaya patriarki.

Olehnya itu, perlu adanya upaya tegas dari pemerintah terkhusus di Sulawesi Selatan agar hal tersebut tidak berulang dan semakin bertambah. Banyak kasus KP diselesaikan secara kekeluargaan karena beban malu pada diri korban, juga kurangnya pendampingan kasus yang dihadapi sehingga korban memilih enggan untuk melaporkan diri. Dengan ini pemerintah harus memaksimalkan kerjasama dengan organisasi perempuan yang ada .

Membiarkan hal seperti itu terjadi, kekerasan terhadap perempuan tidak akan usai, karena tidak adanya efek jerah oleh pelaku. Selain itu pemerintah harus fokus dalam pemberdayaan perempuan dalam pertumbuhan ekonomi. di daerah2 dan desa perempuan banyak memiliki ide dan gagasan untuk memulai usaha tapi yang menjadi kendala adalah mereka masih bingung dalam menentukan pangsa pasar, dan modal usaha yang bunga angsurannya membuat mereka seribu kali berfikir untuk memulai usaha.

Nah, jika pemerintah serius mengawal pemberdayaan perempuan dalam pembangunan saya yakin kekerasan terdahap perempuan otomatis sedikit demi sedikit membawa perubahan yang lebih baik. Mindset menempatkan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki juga ikut terkikis, karena kehadirannya membawa perubahan dalam memajukan bangsa.

Harus kita ketahui bersama bahwa perempuan adalah ujung tombak peradaban, madrasa pertama yang akan mengonsepkan generasi yang akan datang. Apa yang diterima anak maka itulah yang akan menjadi acuan dalam menjalani hidup. Kemajuan suatu bangsa adalah campur tangan seorang perempuan.

Olehnya itu, pemerintah harus dapat memastikan adanya perlindungan dan kepastian hukum terhadap kaum perempuan sehingga perempuan bisa hidup tentram, aman dan damai tanpa ada perasaan mawas diri. (*)