Jurnal Gagasan “Rehousing” Mantan Penderita Gangguan Jiwa
Di samping Teori Fungsionalisme, pemodelan ini juga mengacu kepada pendekatan Teori Kompleksitas. Realitas masih tingginya penolakan dan ketidak pedulian terhadap mantan penderita gangguan jiwa oleh karena adanya disorder, non linear dan uncertainty dari penerapan kebijakan yang ada menuntut pemecahan masalah yang melibatkan banyak pengetahuan dan banyak pihak.
Untuk merumahkan dan memasyaratkan kembali para mantan penderita gangguan jiwa ke masyarakat dan melaksanakan fungsi sosialnya maka diperlukan sebuah model sosial atau program intervensi. Gambar 1 dibawah ini mengilustrasikan “rehousing” mantan penderita gangguan jiwa yang dilaksanakan saat ini, dimana mantan penderita gangguan jiwa yang telah dianggap tenang oleh pihak petugas kesehatan di rumah sakit langsung di kembalikan ke rumahnya tanpa melalui sebuah halfway house (sanatorium/inkubasi). Kondisi ini banyak menimbulkan masalah dalam keluarga, sikap keluarga ada yang menerima, tidak peduli bahkan menolak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ruang (space) yang berada antara rumah sakit dan rumah keluarga, atau sebuah halfway house (sanatorium/inkubasi).
Pada gambar 2 dibawah ini mengilustrasikan adanya sebuah Halfway House (sanatorium/inkubasi) yang berfungsi sebagai tempat adaptasi antara mantan penderita jiwa dengan keluarga/masyarakat. Di halfway house ini dilakukan juga psiko-sosial edukasi.
Terapi sosial di halfway house (sanatorium/inkubasi) diberikan kepada mantan penderita jiwa dan keluarganya. Terapi sosial bagi mantan penderita jiwa diberikan sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya sebagai bekal mereka kembali ke masyarakat seperti: terapi musik, terapi kerja (menjahit, montir,dll), terapi olahraga, terapi melukis. Sedangkan bagi keluarga diberikan sosial edukasi seperti family gathering, sharing, hingga membentuk suatu wadah. “Rehousing” dilakukan secara bertahap (step-time), dan tetap memperhatikan Activity Daily Living (ADL) mantan penderita gangguan jiwa baik ketika berada di halfway house (sanatorium/inkubasi) maupun di rumah. ADL merupakan alat ukur layak tidaknya “rehousing” bagi mantan penderita gangguan jiwa.
Gagasan pemodelan tersebut, sejalan dengan pengalaman seorang mantan penderita gangguan jiwa yang menulis dalam sebuah artikel bahwa diluar negeri telah dikembangkan sistem dimana penderita setelah selesai masa perawatan di RS Jiwa dapat tinggal di halfway houses yang sengaja dibangun untuk itu, sehingga dapat menolong penderita dari tekanan atau lecehan orang lain dalam melanjutkan hidupnya. Di Indonesia konsep tersebut belum dikembangkan.
Sementara di Inggris, model pemberdayaan penderita yang digunakan oleh para profesional adalah dengan menghargai mantan penderita sebagai seorang “experts in their own experience” (ahli dalam pengalamannya sendiri) (Roberts, 2000 dalam Subandi, 2010), sehingga mereka diberi kesempatan untuk terlibat dalam pelayanan kesehatan mental. Dalam gerakan pemberdayaan, konsumen ternyata tidak sendirian. Mereka juga didukung oleh anggota keluarga mereka. Ini mengingat bahwa dampak gangguan jiwa tidak hanya dialami oleh penderita saja, tetapi juga anggota keluarga mereka. Beban psikis dan sosial ekonomis keluarga sangat besar. Salah satu diantaranya adalah stigma terhadap keluarga. Oleh karena itu sejumlah anggota keluarga dari para penderita gangguan jiwa mendirikan The National Alliance on Mental Ilness (NAMI). Organisasi ini bertujuan untuk membantu diri mereka sendiri dan anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan mental (https://www.nami.org/).
NAMI adalah sebuah organisasi yang diatur untuk dan oleh keluarga dan konsumen. Tidak ada campur tangan pihak professional maupun pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Para professional dipersilahkan berpartisipasi sebagai simpatisan. Program yang dilaksanakan antara lain memberikan public education and information. Termasuk di sini adalah membantu konsumen dan keluarganya untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk hidup dengan gangguan jiwa. Mereka juga menyelenggarakan support group yang dilaksanakan family-to-family dan peer-to-peer. Program yang lain adalah awareness and stigma di mana mereka melakukan talk show dan rally untuk menggalang dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gangguan jiwa. Mereka juga memberikan respon tentang stigma yang kurang benar tentang gangguan jiwa dengan menulis di berbagai media massa. Sekaligus juga berusaha meningkatkan pemahaman masyarakat sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang mengalami gangguan jiwa.
Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi atau kelompok mantan penderita gangguan jiwa atau keluarganya, seperti yang dilakukan oleh The National Alliance on Mental Illness (NAMI) (Subandi, 2010). Namun indikasi mengarah ke sana sudah mulai tampak. Misalnya telah muncul beberapa buku yang memberikan gambaran tentang pengalaman menjadi pasien gangguan jiwa. Selain penerbitan buku, muncul juga gerakan pemberdayaan pasien dan keluarga gangguan jiwa. Caranya dengan melibatkan keluarga dalam proses terapi yang diberikan pihak rumah sakit. Beberapa RSJ telah menerapkan kegiatan family gathering dimana keluarga diberi psikoedukasi mengenai gangguan jiwa, penyebab dan terapinya. Dalam kesempatan ini keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman. Saat ini juga telah hadir Yayasan Skizofrenia Indonesia yang bertujuan untuk pemberdayaan pasien dan keluarga. Namun organisasi ini dibentuk dan dikelola oleh para profesional kesehatan mental. Akan lebih baik lagi kalau ada sebuah organisasi yang dibentuk sendiri oleh mantan pasien atau keluarga, seperti yang dilakukan oleh NAMI.
KESIMPULAN
Mengamati fenomena sosial terhadap mantan penderita gangguan jiwa saat ini maka nampak bahwa masalah tersebut tidaklah tunggal namun ganda. Oleh sebab itu dibutuhkan pemecahan masalah yang tidak tunggal juga. Tidak cukup dengan satu (1) pengetahuan atau satu (1) pihak saja seperti RS Jiwa. Diperlukan multi perspektif/pengetahuan/pihak/tingkatan dalam mengembalikan fungsi sosial setiap mantan penderita gangguan jiwa seperti keterlibatan keluarga dan masyarakat serta pemerintah (Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, dll). Lebih khusus lagi diperlukan sebuah wadah untuk rehousing semacam sanatorium atau inkubasi bagi mantan penderita gangguan jiwa sebagai tempat adaptasi dan interaksi sosial sekaligus sebagai tempat tinggal yang layak bagi mantan penderita gangguan jiwa yang tidak memiliki tempat tinggal atau yang ditolak oleh keluarganya.
Pikiran kita merayakan kemenangan kecil setiap kali kita berhasil merumuskan gagasan
(Ralph Waldo Emerson)
Medio, Juli 2019
Penulis: Dr. Shermina Oruh, SKM, DESS (email: soruh@yahoo.fr )
Editing: Yunus paraya SKM,M.M.Kes. (azaryabrianto@gmail.com )