Bantaeng, Matasulsel – Kebiasaan berbohong yang dilakukan oleh Calon Gubernur Sulsel nomor urut tiga, Nurdin Abdullah (NA), membuat publik semakin kehilangan kepercayaan. Bahkan dari masyarakat Bantaeng yang dipimpinnya selama dua periode. Bupati Bantaeng non-aktif itu dianggap terlalu sering mengumbar janji yang tidak mampu dipenuhi. Semuanya ditengarai sekadar untuk pencitraan.

Teranyar, NA terbukti lagi-lagi berbohong soal ekspor nikel perdana pada 5 Mei. Janji yang diutarakan pasangan Andi Sudirman Sulaiman saat debat publik pertama itu ternyata hoax. Bahkan, hingga pelaksanaan debat publik ketiga, ekspor nikel perdana tidak kunjung direalisasikan. Padahal, saat debat publik perdana, NA dengan pede mengundang tiga kandidat lain yang merupakan rivalnya untuk menyaksikan ekspor nikel tersebut.

Kepala Dusun Bala Borong, Desa Borongloe, Kecamatan Pajukkukang, Kabupaten Bantaeng, Sunu, mengungkapkan sedari awal sudah ragu saat NA menjanjikan ekspor nikel perdana itu. Pasalnya, ia tahu persis bagaimana perkembangan dua proyek smelter di Bantaeng yang memang berada di Kecamatan Pajukkukang. Kedua proyek smelter itu disebutnya sulit untuk produksi dalam waktu dekat.

“Ya tidak bisa memang itu (ekspor nikel) dalam waktu dekat, tidak mungkin karena masih terkendala,” kata Sunu.

Menurut Sunu, dua proyek smelter di Bantaeng memiliki masalah yang berbeda. Untuk PT Titan Mineral Utama, kendalanya terletak penyegelan pabrik oleh pekerja, termasuk subkontraktor. Perusahaan belum juga membayarkan kewajiban Rp4,9 miliar kepada pekerja dan subkontraktor. Padahal, batu bara sebagai bahan pendukung sudah bertumpuk.

Berbeda dengan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, meski progresnya lebih maju, dimana sudah memiliki bahan baku berupa nikel mentah (ore), tapi bahan pendukung berupa batu bara tidak dimiliki. Belum lagi infrastruktur penunjang berupa pelabuhan representatif di Bantaeng yang memang belum ada.

“Ya masalahnya di situ, yang satu belum menyelesaikan kewajiban ke pekerja dan subkontraktor sebesar Rp4,9 miliar, makanya dipasangi batu (disegel). Yang satunya tidak ada batu baranya, tidak mungkin produksi,” ujar Sunu.

Lebih jauh, Sunu mengungkapkan problematika pembayaran hak pekerja dan subkontraktor pun tidak menemui titik terang. Pemerintah Kabupaten di bawah kepemimpinan NA terkesan lepas tangan, bahkan bersekongkol dengan perusahaan. Ia sangat menyayangkan hal itu, mengingat pemerintah daerah melalui NA yang memfasilitasi hadirnya investor.

“Ini sudah mau lima tahun belum dibayarkan, ada seratusan pekerja dan subkontraktor yang nasibnya bergantung di situ. Ya sudah enam kali dijanji mau diselesaikan tapi tidak selesai, kesannya ada kongkalikong jadinya,” pungkas Sunu. (*)