Takalar,Matasulsel – Wabah pandemi Covid-19 sudah hampir 2 bulan lebih melanda bangsa Indonesia. Di awal maret 2020 hingga saat ini tercatat puluhan ribu masyarakat teedampak langsung dengan kategori ODP (Orang Dalam Pemantauan), PDP (Pasien Dalam Pemantauan), Positif, Negatif, Sembuh, Meninggal dan yang terbaru OTG (Orang Tanpa Gejala).

Istilah-istilah ini menjadi bahasa medis dalam memberikan label dan informasi otentik kemasyarakat terkait perkembangan terbaru wabah covid-19. Informasi ini disampaikan oleh ketua gugus tugas covid-19 pusat, provinsi dan kabupaten. Tercatat sudah ada 215 negara yang terserang wabah ini. Sudah hampir jutaan manusia (3.35.6205) terjangkit diseluruh dunia dan ratusan ribu (238.730) orang meninggal.

Dalam sejarah wabah atau virus yang telah ada, virus ini (sebut virus corona) menjadi wabah paling dahsyat dan mematikan. Pun secara medis belum terlalu otentik proses mematikannya kecuali gejala-gejala yang timbul sudah mampu dijabarkan secara medis.

Protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penularan covid-19. Beragam regulasi pun lewat istilah-istilah baru bermunculan. Sebut saja Lockdown (Pembatasan Wilayah), Rapid Test (Tes Cepat), Tes SWAB, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PSBK (Pembatasan Sosial Berskala Kecil) dan lainnya.

Data dari gugus tugas covid-19 pusat yakni 11.192 orang positif, sembuh 1.876 orang dan meninggal 845 orang. ODP sebanyak 236.369 dan PDP sebanyak 230.130 (data tertanggal 3 Mei 2020).

Dilema Bantuan dan Penafsiran Masyarakat

Imbauan pemerintah untuk tetap dirumah (stay at home) menjadi fenomena sosial baru. Selain tak beraktivitas seperti biasa sewaktu melakukan pekerjaan untuk menghasilkan pendapatan, bekerja dari rumah, belajar dari rumah dianggap mampu memutus mata rantai penyebaran covid-19.

Dibalik imbauan ini jutaan masyarakat terdampak secara ekonomi. Masyarakat miskin yang notabene pekerjaannya sebagai buruh terpaksa berhenti, PHK juga terjadi dimana-mana. Otomatis masyarakat tak mendapatkan pendapatan untuk membiayai kehidupan sehari-harinya.

Wajar jika masyarakat kategori miskin banyak yang berteriak dengan situasi ini. Betapa tidak, tak ada stok pangan untuk hidup selama dirumahkan, membuat mereka kebingungan tak tahu harus berbuat apa.

Yang lebih aneh timbul lagi fenomena baru, masyarakat berbondong-bondong menjadikan dirinya sebagai masyarakat miskin. Padahal Kementerian Sosial sudah memiliki standar, indikator dan ukuran untuk masyarakat miskin. Namun disituasi saat ini, rupanya indikator itu tak lagi jadi ukuran.

Program pembagian paket sembako baik dari pemerintah dan swasta pun jadi rebutan. Tak peduli lagi dengan isi dari paket sembakonya, yang jelas mereka kebagian. Namun tak sedikit yang nyinyir dengan isi paket bantuan sembako tersebut.

Dimasa sulit dan situasi yang tak menentu seperti ini, beragam spekulasi bermunculan. Belum lagi aturan-aturan teknis program bantuan yang dibuat oleh pemerintah sering berubah-ubah. Maka timbullah kekisruhan dibeberapa daerah. Ada kepala desa, ada kepala daerah yang protes keras dengan regulasi ini. Bahkan ada dengan nada menantang, tetapi tak sedikit yang memuji dan membela.

Fenomena ini wajar, beragam stimulus yang hadir akan beragam pula respon yang bermunculan. Terus apa yang membuat pemerintah dilevel paling bawah dilematis dalam menentukan kebijakan penyaluran bantuan. Selain karena faktor hukum yang mengikat didalamnya, faktor intrik dan protes dari masyarakat yang tak kebagian bantuan akan jadi masalah baru.

Dalam artian pemerintah paling bawah khawatir dengan hukuman sosial dari masyarakat, baik atas dasar ketidakadilan, pilih kasih, pemerintah setempat mendata asal-asalan dan hanya pihak keluarga pendata dan pemerintah setempat yang didahulukan.

Program BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari anggaran dana desa paling membuat pemerintah desa kewalahan dan harus teliti dalam menentukan siapa warga yang akan mendapatkan BLT. Disisi lain, 14 kriteria yang berhak menerima yang dikeluarkan oleh Kementerian Desa ialah warga miskin diluar penerima PKH dan BNPT. Dimana penerima PKH dan BNPT sudah tercover oleh Kementerian Sosial. Pemberian bantuannya pun secara langsung yakni lewat rekening masing-masing penerima, selain bantuan paket sembako yang akan diantakan ke rumah masing-masing warga penerima.

Nah, dimana letak dilemanya? 14 kriteria atau indikator ini hanya dimiliki oleh masyarakat pada kategori penerima PKH dan BNPT (pun data ini masih simpangsiur karena ada warga yang tak layak dapat namun dapat begitupun sebaliknya). Oleh Kementerian Desa, regulasi itupun coba disederhanakan, yakni jika sudah memenuhi 4 dari 14 kriteria tersebut, maka sudah layak mendapatkan BLT dana Desa. Maka kunci dari dinamika di BLT ialah data yang akurat dan transparan.

Oleh beberapa desa dibuatlah semacam proses pendataan lebih berintegritas, yakni dengan melibatkan semua pihak dalam pendataan. Itupun dibatasi waktu, karena dari pihak pemerintah pusat menargetkan waktu oleh karena desakan dari masyarakat atas situasi pandemi saat ini. Pelibatan tokoh masyarakat, pemuda dan kalangan intelek dalam proses pendataan dianggap sebagai cara lebih efektif dalam meminimalisir protes warga.

Dana BLT berkisar Rp. 600.000/bulan yang akan diserahkan selama 3 bulan kedepan bukan hal yang mudah untuk dieksekusi pemerintah desa. Mereka harus bertaruh data agar akurat, tepat sasaran dan transparan. Jika salah mengambil kebijakan maka gelombang protes dan konflik sosial dimasyarakat sudah siap menyambut. Inilah dinamika sosialnya, yang dalam istilah kerennya “buah simalakama”.

Masyarakat yang sudah tak sabar pun sudah melakukan nyinyir dibeberapa media sosial, termasuk mencoba membandingkan antara desa yang satu dengan satunya lagi. Kabupaten A dengan Kabupaten B. Meme di media sosial sudah beragam bentuknya. Meme dan nyinyir itu seputaran penerima BLT, Bansos, PKH dan BNPT. Bahkan ada yang dengan sengaja memotret rumah penerima yang layak dengan tidak layak menerima. Kreatif memang, namun sebagai masyarakat juga menganggap bahwa ini hanya kecemburuan sosial, hanya karena tak dapat bantuan.

Sebuah fenomena yang setiap berkaitan dengan bantuan sosial, selalu saja jadi polemik. Data yang tak akurat pun jadi perdebatan. Pihak Kemensos misalnya lewat Menteri Juiandri Batubara dalam sebuah wawancara Talk-show mengungkapkan bahwa data penerima Bansos itu bersumber dari data yang dikirim dari pemerintah kabupaten lewat pemerintah kecamatan dan desa.

“Jumlah bantuan yang diberikan Kemensos itu sesuai data yang dikirim oleh pemerintah kabupaten. Datanya dari desa setempat lewat persetujuan pemerintah kecamatan, jadi jika tak ada penambahan data penerima, itu karena Pemkab tak mengupdate data lewat sistem yang sudah disiapkan. Semua Pemkab tahu sistem itu. Per 3 bulan dilakukan update. Kemensos sisa mengesahkan dan menyalurkan bantuan lewat data tadi,” terang Mensos Juliandri Batubara.

Situasi ini memang membuat kita bekerja ekstra. Semua pihak tak boleh lagi saling menyalahkan, namun lebih kepada kolaborasi dan menjadi bagian dalam upaya penanganan covid-19 ini. Pemerintah akan terus berupaya untuk memberikan bantuan secara maksimal dan tepat sasaran, baik dipusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Riak pasti ada dan itu hal wajar di negara demokrasi ini. Mengeluarkan pendapat itu dilindungi oleh undang-undang, namun tetap mengutamakan aturan yang berlaku dan tak melukai siapapun.

Pandemi covid-19 ini memberikan kita banyak pelajaran berharga. Data yang akurat untuk keperluan bansos, budaya sehat yang dimulai dari lingkungan masing-masing, masyarakat harus siap dan terbiasa disituasi sulit, kepekaan terhadap sesama, kolaborasi stackholder yang ada, sinergi dan bergerak bersama.

Dari sini pula kita harus siap dengan perkembangan IT. Dimana masa pandemi ini pula beragam situs dan aplikasi berbasis IT bermunculan dalam mempermudah akses informasi. Revolusi industri 4.0 betul-betul diterapkan, khususnya didunia pendidikan. Dimana guru menyadari pentingnya IT dalam pembelajaran, orang tua menyadari beratnya tugas seorang guru dan siswa siap membentuk karakter dirinya dari rumah masing-masing.

Fenomena dan dilema ini telah banyak memberi pelajaran berharga, sejatinya kita sudah mampu memahami bahwa masa sulit ini akan terlewati jika ada kesadaran bersama. Tidak lagi kita berdebat pada tataran yang pragmatis, namun lebih komprehensif melihat situasi. Penulis Abdul Jalil Mattewakkang (KETUA UMUM KERTAS PENA).(*)

Terbit : Selasa, 5 April 2020.