Ketum KERTAS PENA : Refleksi Hari Buku Nasional, Geliat Membaca Buku di Masa Pandemi Covid-19
Takalar, Matasulsel – Pandemi Covid-19 telah meluluh lantahkan semua ini kehidupan manusia, termasuk aktivitas sosialnya. Imbauan sosial distancing (jaga jarak) dan physical distancing (pembatasan sosial) menjadi boomerang bagi sendi kehidupan sosial manusia. Aktivitas sosial lewat kerumunan yang selama ini menjadi rutinitas dan kebiasaan masyarakat berubah menjadi kesunyian.
Dunia sontak manjadi sunyi dan hening dari hiruk pikuk aktivitas manusia. Wabah ini telah menyerang di 200 lebih negara, termasuk Bangsa Indonesia di dalamnya. Bangsa yang dikenal dengan kegigihannya dalam menghadapi setiap situasi sulit. Itu tercatatkan dalam sejarah sewaktu masa penjajahan. Dimana bangsa Indonesia di jajah kurang lebih 350 tahun kemudian keluar dari masa sulit itu hingga mendeklarasikan kemerdekaannya.
Wabah virus covid-19 merubah peran manusia sebagai makhluk sosial menjadi makhluk individualistik. Larangan berkumpul, berkerumunan dan pembatasan jarak menjadi fenomena mendunia. Khusus di Indonesia kebijakan paling esktrem ialah adanya istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) atau istilah asingnya ialah Lockdown.
Imbauan pemerintah mengenai jaga jarak dan pembatasan sosial juga menyentuh bidang pendidikan. Sekolah diliburkan kemudian pembelajaran dialihkan kerumah. Belajar dari rumah menjadi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar aktivitas pembelajaran tetap berjalan. Pun dirasa ini sesuatu yang tak lazim, namun waktu yang membuat kita siap dan sigap dalam situasi ini.
Belajar dari rumah ini membuat 3 pilar pendidikan yakni pemerintah, sekolah dan masyarakat menjadi sadar dan melek akan fungsi dan peranan teknologi dan informasi dalam dunia pendidikan. Betapa tidak, belajar dari rumah wajib menggunakan fasilitas dan fitur pembelajaran berbasis virtual. Sebuah fenomena baru bagi dunia pendidikan di daerah-daerah tertentu di wilayah negara kesatuan republik Indonesia.
Fasilitas dan fitur pembelajaran berbasis daring (dalam jaringan) atau online yang dulunya tabu untuk dimanfaatkan, hari ini ia muncul sebagai gadis cantik yang jadi incaran dan buruan para pemerhati pendidikan yang didalamnya ada guru, siswa dan orang tua. Berbagai program dan kebijakan pun dikeluarkan dalam upaya mendukung kegiatan belajar dari rumah ini. Setidaknya sudah ada 5 kali perpanjangan masa belajar dari rumah, kesemuanya itu sebagai upaya konkrit dalam memutus mata rantai penyebaran dan penularan virus covid-19 atau virus corana yang konon katanya berasal dari negeri China ini.
Setidaknya sudah hampir 2 bulan berlalu sejak wabah ini ditemukan di pertengahan bulan maret lalu. Telah banyak korban berjatuhan. Jutaan manusia juga terjangkiti virus ini. Anggaran yang digelontorkan pun tidak main-main, berkisar 540 triliun lebih. Sebuah anggaran dan yang sangat fantastik. Dari mana sumber anggaran itu? penulis akan bahas di waktu yang lain. Fokus kita saat ini ialah momentum Hari Buku Nasional yang jatuh pada hari ini Minggu 17 Mei 2020. Sebuah peringatan akan pentingnya buku bagi kehidupan manusia.
Geliat Membaca Buku di Masa Pandemi, sejatinya dimasa sekarang ini aktivitas membaca harusnya meningkat. Itu jika dirumah-rumah kita tersedia buku untuk dibaca, tersedia buku bacaan dan tersedia perangkat serta sarana untuk membaca. Waktu yang begitu banyak dihabiskan dari rumah harus dibarengi dengan kegiatan yang produktif. Hal ini agar kebiasaan sebelum adanya wabah tetap terjaga bahkan lebih meningkat walau aktivitas sosial terbatasi.
Momentum 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional menjadi perayaan berbeda di tahun ini. Situasinya ada pada masa pandemi covid-19. Terus, apa yang telah dilakukan agar budaya membaca masyarakat tetap aktif? Sebuah pertanyaan yang menggelitik kita semua, khususnya para penggiat dan literasi yang selama konsen dalam memberikan layanan baca buku berbasis masyarakat.
Pemberantasan buta aksara turun cukup signifikan. Dari angka 39,1% ditahun 1971 menjadi 4,4% ditahun 2015 (Data Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka, 2015). Namun data ini berbanding terbalik dengan daya dan kemampuan baca masyarakat indonesia. Budaya literasi kita masih memprihatinkan. Ini terlihat dari data PISA 2015 yang menempatkan Indonesia urutan ke 64 dari 72 negara. Sedangkan PISA 2018 kembali menunjukkan data bahwa bangsa Indonesia kembali menempati urutan 70 dari 71 negara. Sebuah data yang membuat kita sangat miris. Pun data ini menunjukkan pembagian dari aktivitas membaca buku, baik literasi numerasi, literasi baca tulis dan literasi digital yang masih rendah. Setidaknya ini jadi bahan refleksi bagi kita semua khususnya di momentum hari buku nasional ini.
Data hasil penelitian perpustakaan nasional menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca buku 3 sampai 4 kali per minggu. Itupun dengan durasi membaca per hari rata-rata menunggunakan waktu 30-59 menit.
Jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5 sampai 9 buku per orang. Data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menunjukkan pangsa pasar buku dalam negeri mencapai sekitar Rp 14,1 triliun per tahun. Sekitar 60 persen pasar buku berasal dari pembelian oleh pemerintah untuk sektor pendidikan. Setiap tahun ada 100.000 judul buku yang dimintakan International Series Book Number (ISBN) di Perpustakaan Nasional, namuan hanya 40 sampai 45 persen yang akhirnya benar-benar terbit.
Data tentang rendahnya literasi masyarakat Indonesia tersebut menjadi tantangan dan permasalahan kompleks. Perpustakaan mau tak mau harus bisa mengambil peran dan menjadi garda terdepan dalam menjawab permasalah tersebut. Kolaborasi dengan seluruh elemen penggiat literasi demi mewujudkan Gerakan Literasi Nasional (GLN).
Perpustakaan selain menyediakan sumber-sumber bacaan untuk menggali informasi dan pengetahuan, dapat juga untuk menjadi tempat berbagai kegiatan pelatihan dan keterampilan berbasis literasi untuk semua kalangan. Dikutip dari Vemale, data Unesco menunjukkan bahwa dari 1.000 penduduk Indonesia yang minat membaca hanya satu orang atau perbandingannya 1000:1. Kemudian dari sisi jumlah buku, 1 buku dibaca 15 ribu orang padahal yang seharusnya menurut Unesco, 1 buku hanya dibaca untuk 2 orang.
Data di atas harusnya mampu menjawab persoalan kita yang tertuang dalam data PISA 2018. Masih kita temukan sekelumit permasalahan klasik dalam hal budaya baca buku. Seolah-olah membaca buku hanya milik para pelajar, milik yang suka menulis saja, padahal kolaborasi semua elemen harus menjadi kekuatan utama. Kita berharap lewat aktivitas dan geliat para penggiat literasi berbasis masyarakat dalam mendekatkan bahan bacaan atau buku ke masyarakat harus mampu menjawab tantangan dalam data PISA tersebut.
Peningkatan budaya baca masih sangat temporer, hanya pada jenis kegiatan tertentu. Padahal kita telah memiliki UU No.43 tahun 2007 tentang perpustakaan, namun belum mampu dioptimlakan dalam implementasi yang konkrit.
Rendahnya kesadaran orang tua dan masyarakat akan pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan literasi (membaca buku).
Selain itu lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perbukuan juga diharapkan menjadi pondasi kuat dalam membangun budaya baca masyarakat Indonesia. Namun kita juga menyadari bahwa akses dan sarana prasarana membaca yang belum merata dan terdistribusi secara maksimal menjadi persoalan klasik. Bahan bacaan yang masih minim, kemampuan menulis buku yang belum maksimal diberdayakan serta persoalan lainnya. Fenomena ini diperparah dengan hadirnya pandemi virus covid-19 saat ini.
Geliat membaca di taman-taman baca masyarakat, disudut-sudut baca kembali menurun. Hal ini karena adanya larangan aktivitas berkerumun. Program antar dan jemput buku menjadi salah satu opsi yang dipilih oleh sebahagian penggiat literasi. Hal ini semata-mata agar tidak terjadi kekosongan aktivitas membaca buku walau di masa pandemi seperti saat ini. Selain itu pemerintah pun menyediakan sarana membaca buku secara daring (online) dan virtual. Disediakan oleh instansi-instansi yang selama ini konsen dan fokus pada aktivitas penyediaan bahan bacaan (buku).
Pandemi covid-19 ini memberikan pengalaman berharga kepada kita semua. Fenomena yang harus dan siap kita hadapi. Situasi sulit menjadi bagian dari kehidupan masyarakat hari ini. Hanya saja kita butuh program, kebijakan dan pemberdayaan secara maksimal agar budaya membaca buku tak terputus dalam situasi ini. Momentum hari buku nasional ini menjadi refleksi bersama dalam menghadapi gelombang industri 4.0 berbasis virtual. Buku digital bisa jadi opsi, namun buku manual tak boleh disepelehkan, kita masih sangat butuh itu. Masih banyak daerah yang akses jaringan internetnya masih minim sehingga membutuhkan buku sebagai sarana baca bagi masyarakat.
Kolaborasi antara keduanya menjadi sesuatu yang mesti dilakukan. Tak lain sebagai wujud konkrit dalam memenuhi kebutuhan membaca buku masyarakat.
Semoga wabah ini segera berakhir, agar aktivitas literasi yang mengarah pada upaya pembudayaan membaca buku bisa kembali terlaksana secara normal. Kita tentunya rindu dengan keceriaan para pengunjung perpustakaan, taman baca dan sudut baca yang menjadikan buku sebagai teman mereka. Selain itu kita mengharapkan adanya peningkatan budaya baca. Selamat memperingati hari buku nasional 17 Mei 2020. Bung Hatta berkata “aku rela dipenjara asal bersama buku, karena dengan buku aku bebas”.Penulis : Ketum KERTAS PENA dan Penulis 15 Buku.(*)
Terbit : Takalar, 17 Mei 2020.