Oleh : Haerullah Lodji (Pembina Forum Anak Turatea, FORMATUR)

Perencanaan inklusi, terutama dalam konteks Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) anak, Kelompok Perempuan dan Disabilitas memegang peranan krusial dalam menciptakan lingkungan yang mendukung hak dan kebutuhan anak, perempuan, dan kelompok disabilitas.

Secara konstitusional, Indonesia telah mengakui hak anak melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Kebijakan ini menekankan pentingnya partisipasi anak dan penyandang disabilitas dalam setiap aspek pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) juga mencakup tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak, serta mendorong inklusi sosial.

Meskipun ada landasan kebijakan yang kuat, implementasi di lapangan seringkali tidak sejalan dengan prinsip-prinsip inklusi. Banyak Musrenbang yang masih cenderung formalitas, di mana suara anak, perempuan, dan kelompok disabilitas tidak terdengar.

Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan dalam perencanaan pembangunan yang tidak mencerminkan kebutuhan nyata rakyat.

Keterlibatan yang minim dari kelompok-kelompok tersebut dalam Musrenbang dapat menyebabkan kebijakan yang dihasilkan tidak relevan dan tidak efektif.

Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses Musrenbang tidak hanya sekadar acara, tetapi juga sebagai wadah bagi semua suara untuk diakomodasi.

Sebagai contoh, Kabupaten Layak Anak merupakan pengakuan terhadap upaya daerah dalam memastikan hak-hak anak terpenuhi.