Konsep CRAM dalam Manajemen Mutu Perguruan Tinggi
(Musti belajar kearifan Lokal )
Oleh :
Dr. Imran Kamaruddin, SS,MM, M.I.Kom
Kearifan lokal merupakan warisan nilai, norma, dan praktik budaya yang telah terbentuk melalui perjalanan panjang sejarah suatu masyarakat. Dalam konteks kekinian, kearifan lokal memegang peran penting sebagai fondasi identitas dan pedoman hidup yang relevan dalam menghadapi dinamika globalisasi. Di era modern, ketika perubahan terjadi dengan cepat akibat kemajuan teknologi, migrasi budaya, dan interaksi lintas bangsa, kearifan lokal menjadi penyeimbang yang menjaga akar budaya agar tidak hilang di tengah arus perubahan.
Pertama, kearifan lokal memberikan landasan moral dan etika yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, lingkungan, dan pemerintahan. Nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, kejujuran, dan keadilan yang terkandung dalam tradisi lokal tetap relevan sebagai pedoman dalam membangun masyarakat yang harmonis dan berkeadaban.
Kedua, kearifan lokal berperan dalam membentuk identitas budaya yang unik bagi suatu bangsa atau komunitas. Identitas ini tidak hanya menjadi sumber kebanggaan, tetapi juga modal sosial dan ekonomi yang dapat meningkatkan daya saing, terutama melalui pengembangan pariwisata, seni, dan produk kreatif berbasis budaya lokal.
Ketiga, kearifan lokal memiliki nilai keberlanjutan yang sejalan dengan tantangan masa kini, seperti perubahan iklim dan pelestarian lingkungan. Praktik tradisional dalam menjaga keseimbangan alam, seperti konsep subak di Bali atau kearifan masyarakat adat dalam mengelola hutan, menjadi inspirasi bagi solusi modern yang ramah lingkungan.
Namun, pentingnya kearifan lokal tidak berarti menolak modernitas. Sebaliknya, kearifan lokal harus diberdayakan dan disesuaikan dengan konteks kekinian agar tetap relevan. Digitalisasi, misalnya, dapat digunakan untuk mendokumentasikan dan mempromosikan tradisi lokal ke tingkat global. Dengan demikian, kearifan lokal menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, membantu masyarakat untuk tetap kokoh menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan akar budaya mereka.
Kearifan Lokal dan Konsep Penjaminan Mutu.
Kearifan lokal dan konsep penjaminan mutu memiliki hubungan yang erat, terutama dalam upaya menciptakan sistem yang tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga relevan dengan nilai-nilai lokal. Penjaminan mutu, yang berfokus pada memastikan bahwa proses, produk, atau layanan mencapai standar tertentu, dapat diperkuat melalui integrasi kearifan lokal sebagai pedoman nilai, prinsip, dan praktik.
Pertama, landasan nilai yang terkandung dalam kearifan lokal, seperti kejujuran, gotong royong, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap kerja keras, menjadi panduan etis dalam menjalankan proses penjaminan mutu. Nilai-nilai ini dapat diterapkan untuk menciptakan budaya kerja yang berorientasi pada kualitas, menjamin transparansi dalam evaluasi, serta memperkuat rasa tanggung jawab kolektif di seluruh elemen organisasi.
Kedua, relevansi kearifan lokal membantu menjadikan penjaminan mutu lebih kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam konteks pendidikan tinggi, misalnya, program studi atau kurikulum dapat dirancang dengan mempertimbangkan potensi daerah dan tradisi lokal, sehingga lulusan tidak hanya kompeten secara global tetapi juga mampu berkontribusi pada pengembangan lokal. Hal ini sejalan dengan prinsip relevance dalam kerangka CRAM (Culture, Relevance, Accountability, Mission).
Ketiga, kearifan lokal mendukung aspek keberlanjutan, yang menjadi salah satu elemen penting dalam penjaminan mutu modern. Banyak nilai dan praktik lokal yang berorientasi pada pelestarian sumber daya, keseimbangan ekosistem, dan keberlanjutan sosial. Misalnya, falsafah hidup masyarakat adat yang menjaga harmoni dengan alam dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan lingkungan perguruan tinggi atau organisasi.
Keempat, kearifan lokal dapat memperkuat budaya mutu (quality culture) dalam organisasi. Budaya ini terbentuk melalui pembiasaan nilai-nilai lokal yang relevan, seperti sipakatau (saling menghormati) dalam budaya Bugis-Makassar atau hulunga (gotong royong) dalam budaya Gorontalo, yang mendorong kerja sama dan tanggung jawab bersama untuk mencapai standar kualitas yang diharapkan.
Dengan menghubungkan kearifan lokal ke dalam konsep penjaminan mutu, organisasi tidak hanya memastikan kualitas yang memenuhi standar formal, tetapi juga menciptakan nilai tambah yang berakar pada tradisi, relevan dengan konteks lokal, dan berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang.
Konsep CRAM dalam realitas keaarifan lokal masyarakat Bugis-Makassar dan Gorontalo.
Konsep CRAM (Culture, Relevance, Accountability, dan Mission) merupakan amanah dalam Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor 14 Tahun 2023 tentang Kebijakan Penyusunan Instrumen Akreditasi dan merupakan pendekatan strategis dalam manajemen mutu perguruan tinggi yang bertujuan untuk memastikan keberlanjutan kualitas pendidikan tinggi di tengah tantangan global. Culture atau budaya menjadi fondasi utama, di mana perguruan tinggi perlu menciptakan budaya organisasi yang mendukung inovasi, kolaborasi, dan pembelajaran berkelanjutan. Budaya ini mendorong semua elemen institusi, baik dosen, mahasiswa, maupun staf, untuk mengutamakan kualitas dalam setiap aktivitas akademik dan administratif. Relevance atau relevansi menekankan pentingnya kesesuaian antara program pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat dengan kebutuhan zaman dan tantangan lokal maupun global. Perguruan tinggi harus mampu menghasilkan lulusan dan penelitian yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan masyarakat.
Accountability atau akuntabilitas menegaskan bahwa perguruan tinggi harus bertanggung jawab kepada para pemangku kepentingan, termasuk mahasiswa, masyarakat, pemerintah, dan dunia industri. Transparansi dalam pelaporan kinerja, pengelolaan anggaran, dan hasil akademik menjadi bagian penting dari akuntabilitas ini.