Konstruksi Teoritis Hak Angket DPRD Sulsel Cacat
Makassar, Matasulsel – Beberapa hari belakangan ini, terjadi polemik dan ketidakharmonisan dari hubungan kedua lembaga tinggi daerah di Sulawesi Selatan. Kondisi tersebut berujung pada DPRD Sulawesi Selatan membentuk pansus untuk menyikapi kinerja Gubernur Sulawesi Nurdin Abdullah.
Terdapat lima indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan yaitu: Pertama terbitnya SK Wakil Gubernur melantik 193 pejabat di Pemprov Sulawesi Selatan yang mengindikasikan dualisme kepemimpinan di Pemprov Sulawesi Selatan, Kedua indikasi KKN dalam mutasi ASN karena Gubernur atau Wagub membawa ASN dari Kabupaten Banteng dan Bone, Ketiga indikasi KKN penempatan Pejabat eselon IV hingga eselon II, Keempat pencopotan Jumras (Kepala Biro Pembangunan) dan Lutfi Natsir (Kepala Inspektorat) dan Kelima penyerapan anggaran rendah.
“Jika kelima potret indikasi pelanggaran itu yang dijadikan fokus penyelidikan dengan menggunakan instrumen hak angket, maka sesungguhnya hal itu adalah keliru dan sangat berlebihan jika dilihat dari optik hukum tata negara,” kata Dr. Fahri Bachmid, Rabu (17/07/2019).
Menurut Eks Kuasa Jokowi-Ma’Aruf Amin ini mengatakan hakikatnya kelima pelanggaran tersebut berada pada ranah hukum Administrasi yang seharusnya cukup disikapi dengan menggunakan instrumen hak interpelasi atau hak bertanya, dalam rangka melakukan upaya korektif terhadap pemerintah daerah. Artinya DPRD mempertanyakan kebijakan Gubernur, dan itu lebih sejalan dengan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 322 UU MD3.
“Penggunaan hak interpelasi dipandang lebih sejalan dengan spirit serta bangunan yuridis sebagaimana diatur dalam UU MD3 ini, karena secara teoritis sangat linear dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, penggunaan hak angket DPRD Sulawesi Selatan saat ini sangat sumir dan potensial eksesiv dan destruktif serta cenderung berlebihan,” jelasnya. (*)