Kopi Rumbia : Entitas dan Kekayaan Budaya Tak Benda Bumi Turatea
Oleh : Haerullah Lodji (Relawan Kemah Kopi Kampung Kopi Arabika Rumbia)
JENEPONTO, MATASULSEL – Kopi Rumbia bukan sekadar minuman, ia adalah simbol keberagaman dan sejarah yang terjalin dalam setiap tetesnya. Ungkapan Junaedi Bakri, mantan PLT Bupati Jeneponto, tentang “Kekayaan tak Benda Bumi Turatea” menggambarkan betapa pentingnya keberadaan kopi ini dalam konteks budaya dan ekonomi masyarakat Jeneponto.
Dari dataran tinggi dengan ketinggian 1300 hingga 1600 MDPL, Kopi Rumbia tumbuh subur, menawarkan cita rasa yang khas dan menjadi penanda bahwa tanah ini memiliki potensi yang luar biasa.
Ketinggian tersebut bukan hanya ideal untuk pertumbuhan kopi Arabika, tetapi juga menyimpan cerita yang dalam tentang penyebaran Islam di daerah ini. H. Nasrum, seorang pegiat Kopi Rumbia, mengungkapkan bahwa jejak penyebaran Islam dan kopi Rumbia tak dapat dipisahkan.
Di desa Jenetallasa, kita melihat bagaimana kopi ini menjadi bagian dari identitas sosial dan spiritual masyarakat. Melalui pengembangan perkampungan kopi, tradisi ini tidak hanya dilestarikan tetapi juga diwariskan kepada generasi mendatang.
Kopi Riolo
Salah satu aspek menarik dari Kopi Rumbia adalah tradisi “Kopi Riolo,” yang mencerminkan kekayaan budaya tak benda masyarakat setempat. “Kopi Riolo” berarti menyajikan kopi dengan cara yang khas, mengingatkan kita pada tradisi orang-orang dahulu.
Dalam tradisi ini, kopi disajikan dengan cara yang sederhana namun sarat makna, seruput kopi pahit dengan gula merah. Proses penyajian melibatkan teknik tubruk dan sangrai, menggunakan wajan dari tanah liat dan kayu bakar.
Cara ini tidak hanya menghasilkan cita rasa yang unik, tetapi juga melestarikan metode tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Kampung Kopi Rumbia berperan sebagai penjaga tradisi dan budaya “Kopi Riolo.” Di sinilah masyarakat tidak hanya menikmati kopi, tetapi juga merayakan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap penyajian. Momen menikmati kopi pahit yang disajikan dengan gula merah menjadi sarana untuk mengikat silaturahmi dan berbagi cerita, menciptakan kenangan yang tak terlupakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kolonel Irfan Amir, Mantan Dandim 1425 Jeneponto yang Ke 18, menyatakan bahwa cita rasa Kopi Rumbia senantiasa memanggil untuk pulang kampung.
Ia menggambarkan kopi sebagai “penjaga silaturahmi,” yang mempertemukan orang-orang dalam kehangatan pertemuan. Dalam setiap cangkir kopi, terdapat rasa nostalgia dan ikatan emosional yang mengajak kita untuk kembali ke akar dan merayakan kebersamaan.