KPPU Bahas Praktik Anti-persaingan dan Perizinan di Pasar Farmasi
JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berkontribusi sebagai panelis pada The 10th ASEAN Competition Conference (ACC) dengan tema “From Innovation to Impact: Synergizing Antitrust and IP Regulation for a Stronger ASEAN”.
Konferensi berlangsung pada tanggal 29-30 November di Conrad Manila Pasay City.
ACC ke-10 ini fokus pada praktik terbaik yang muncul dalam menangani masalah kekayaan intelektual (IP) dalam antimonopoli serta mendorong inovasi dalam konteks mengintegrasikan rantai nilai lokal, regional, dan global dengan cepat.
Konferensi yang terdiri dari beberapa sesi diskusi panel ini dihadiri secara virtual oleh Komisioner KPPU Chandra Setiawan dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur.
Dalam forum tersebut, Komisioner Chandra berbicara tentang praktik anti-persaingan dan perizinan di pasar farmasi. Chandra menyampaikan bahwa industri farmasi Indonesia merupakan industri yang vital bagi kepentingan rakyat.
Data menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah perusahaan penyumbang PDB industri farmasi meningkat.
Produk domestik bruto (PDB) sektor ini pada tahun 2022 meningkat sebesar 0,69% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2022, kinerjanya jauh lebih lambat dibandingkan dua tahun sebelumnya pada 2020 dan 2021.
Perlambatan pertumbuhan kinerja industri farmasi sejalan dengan berakhirnya pandemi Covid-19 di Tanah Air yang menurunkan permintaan masyarakat.
Chandra melanjutkan, pelaksanaan lisensi wajib paten bagi perusahaan farmasi di Indonesia telah berjalan dan diatur melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 30 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Lisensi Wajib.
Penerapan lisensi wajib paten itu sendiri dapat berkontribusi pada perusahaan farmasi dalam negeri karena ada proses transfer teknologi yang terlibat.
Dengan proses alih teknologi, perusahaan farmasi dalam negeri dapat menerapkan, mengadakan, dan mengembangkan teknologi secara mandiri sehingga tidak bergantung pada teknologi negara maju.
Peningkatan kemampuan teknologi dan inovasi yang didorong oleh compulsory licensing ini tentunya mendorong kemampuan perusahaan farmasi dalam negeri untuk bersaing dengan perusahaan multinasional maupun asing.
“Namun, untuk mencapai hasil tersebut, peran aktif perusahaan farmasi dalam negeri juga krusial, terutama untuk mendalami lebih jauh paten obat yang akan dimintai lisensi wajib, serta dengan membangun sistem transfer teknologi canggih yang setara dengan perusahaan farmasi dari negara maju,” ujar Chandra.
Konferensi ini juga meluncurkan laporan peer review tentang program advokasi Malaysia.
Deswin menyampaikan beberapa tantangan untuk peer review yakni, insentif bagi negara yang direview harus diberikan agar mendapat kesediaan dari ASEAN Member State (AMS) atau Negara anggota ASEAN untuk direviu.
Hal ini dapat dilakukan melalui penentuan prioritas dukungan mitra dialog atau komitmen dari negara-negara anggota ASEAN lainnya untuk mendukung mereka.
“Tantangan lainnya adalah terbatasnya jumlah dukungan konsultan dan mitra dialog untuk melaksanakan peer review serta tidak adanya standarisasi kuesioner atau metodologi yang dapat menyebabkan inkonsistensi,” katanya.
Oleh karena itu, Guidance Document bagi pelaksanaan peer review perlu diperbarui untuk menjawab tantangan tersebut.
Adapun manfaat utama yang diperoleh KPPU sebagai salah satu peer reviewer adalah KPPU dapat memperoleh pembelajaran dari otoritas persaingan yang direview.
Pengalaman ini juga dapat meningkatkan keahlian KPPU dalam melakukan peer review serta membantu KPPU dalam mengembangkan program bantuan teknis bagi AMS lainnya serta menetapkan keahlian internalnya untuk melaksanakan program tersebut.
Konferensi yang diselenggarakan sejak tahun 2011 ini merupakan wadah bagi seluruh anggota negara ASEAN dan pemangku kepentingan terkait untuk mendiskusikan masalah yang muncul dalam implementasi hukum dan kebijakan persaingan usaha ASEAN di masa kini dan masa yang akan datang.**