Direktur Laksus : Muhammad Ansar. (Foto. Ist)

MAKASSAR, MATA SULSEL – Lembaga Antikorupsi Sulawesi Selatan (Laksus) telah berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kejanggalan proyek Galesong Hospital, Kabupaten Takalar. KPK telah menerima gambar kondisi fisik dan siap mengecek ke lokasi.

“KPK memberi atensi terhadap proyek ini. Kami sudah memberi gambaran awal soal kondisi fisik saat peresmian. Juga terkait anggaran yang telah dibayarkan seluruhnya sementara bobot proyek baru 75 persen,” terang Direktur Laksus Muhammad Ansar, Rabu (4/1/2023).

Menurut Ansar, KPK tengah mempelajari kejanggalan yang dilaporkan. Selanjutnya, dari hasil telaah awal nanti akan dilakukan pengecekan ke lokasi.

Ansar menyebutkan, proses yang ada di Galesong Hospital hampir mirip dengan RS Batua. Kedua proyek ini sama-sama dibayarkan sebelum bobot pengerjaan mencapai di atas 90 persen.

RS Batua diketahui menelan anggaran Rp25 miliar. Proyek ini tersandung kasus korupsi pada 2020. Kasusnya ditangani Polda Sulsel dan disupervisi oleh KPK. Kasus tersebut dilaporkan pertama kali oleh Laksus.

Sementara Galesong Hospital, diketahui menelan anggaran Rp91 miliar. Disebutkan Ansar, sejak awal proyek ini juga sudah penuh masalah.

Mulai dari proses tender, studi kelayakan lokasi, peresmian yang terkesan dipaksakan hingga adanya pembayaran tahap akhir sebesar Rp16 miliar yang dicairkan sehari setelah Bupati Takalar Syamsari Kitta lengser.

“Semua rangkaian kejanggalan ini sudah kami teruskan ke KPK. Kami sisa menunggu perkembangan dari hasil koordinasi. Soal kapan KPK turun, saya kira secepatnya. Karena ini proyek atensi,” kata Ansar.

Kejanggalan Proyek

Ansar menyebutkan, ada beberapa kejanggalan yang patut dicermati. Pertama, proyek Galesong Hospital diresmikan 20 Desember 2022. Sementara progres di lapangan, proyek masih dengan bobot 75 persen.

“Jadi kesannya peresmian ini dikebut padahal bangunan belum siap. Seolah olah peresmian ini untuk mengejar masa jabatan Bupati Takalar yang akan lengser 22 Desember,” papar Ansar.

Lalu yang kedua, setelah peresmian 20 Desember, 23 Desember terbit surat perintah membayar (SPM). Pembayaran ini adalah tahap akhir dengan nilai Rp16,5 miliar.

“Dan pembayaran dilakukan sehari setelah Bupati Takalar berakhir masa jabatannya. Nah ini yang saya katakan seolah olah pembayaran ini dikebut untuk memburu berakhirnya masa jabatan Bupati,” tandasnya.

Ansar menjelaskan, dari data yang diterimanya proses pembayarannya saat ini sudah berada di angka 93 persen dari total anggaran yakni Rp91,9 miliar.

“Dari SPM tertanggal 23 Desember 2022 sebesar 93 persen. Di mana, pembayaran 75 persen telah cair pada bulan sebelumnya dan pengajuan SPM nomor 00289/1.02.0.00.0.00.02.0000/SPM-LS/2022 sebesar Rp16,5 miliar atau sebesar 18%, sehingga jika ditotalkan dana yang sudah ditarik sebesar 93 persen,” kata Ansar.

Hal ini, lanjut Ansar, sangat bertentangan dengan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia. Di mana salah satu poinnya menjelaskan bahwa untuk pekerjaan yang di subkontrakkan, permintaan pembayaran dilengkapi bukti pembayaran kepada subpenyedia atau subkontraktor sesuai dengan kemajuan hasil pekerjaan.

“Hal ini sangat bertentangan dengan aturan yang ada. Di mana bukti pembayaran kepada subkontrak khusus dan umum belum ada yang terbayarkan bahkan untuk 50 persen pembayaran pun belum ada ter tanggal tersebut,” jelasnya.

Selain itu, Ansar menjelaskan bahwa hal yang paling aneh adalah adanya kenaikan angka progres yang tidak masuk akal dalam jangka waktu yang sangat singkat. Di mana saat soft launching Galesong Hospital pada 20 Desember 2022 progres pembangunan berada di angka 88,9 persen, lalu pada tanggal 23 Desember 2022 dalam surat perintar pencairan dana (SP2D) disebutkan angka pencairan sebesar 93 persen.

“Sangat tidak masuk akal itu. Kejanggalan kejanggalan inilah yang patut ditelusuri,” tegasnya. (*)