MAKASSAR, MATASULSEL – Lembaga Antikorupsi Sulawesi Selatan (Laksus) mendesak Polda Sulsel memeriksa mantan Bupati Takalar Syamsari Kitta dan Sekda Takalar Muh Hasbi terkait dugaan korupsi pada proyek Galesong Hospital. Laksus menyebut, Syamsari dan Hasbi memiliki peran sentral dalam kegagalan proyek ini.

“Ini proyek gagal yang menelan anggaran jumbo. Sangat terang siapa figur paling bertanggung jawab dalam proyek tersebut. Itu mantan Bupati (Syamsari Kitta) dan Sekda Takalar (Hasbi),” ujar Direktur Laksus Muhammad Ansar, Jumat (11/7/2025).

Karena itu, Ansar meminta agar penyidik Ditreskrimsus Polda Sulsel memeriksa keduanya. Laksus melaporkan kasus ini pada Februari lalu.

Selain ke Polda Sulsel, laporan juga dilayangkan ke KPK, sebulan sebelumnya. Menurut Ansar, ia melaporkan adanya masalah serius sejak awal proyek ini digulirkan.

“Poin pertama itu masalah studi kelayakan. Proyek ini dipaksakan. Tidak melalui studi kelayakan yang berstandar,” jelasnya.

Padahal kata dia, untuk sebuah proyek publik, harus melalui feasibility study. Karena itu adalah komponen krusial untuk menentukan layak tidaknya rumah sakit itu dibangun.

“Kalau berdasarkan konsep feasibility studi proyek Galesong Hospital itu tidak layak. Tetapi tetap dipaksakan,” tandas Ansar.

Selain itu, ada proyek pembayaran yang janggal.

“Saya kira ini yang perlu ditelusuri. Kami menduga ada yang tidak wajar dari seluruh rangkaian proyek ini. Mulai dari peresmian yang terkesan dipaksakan. Lalu proses pembayaran yang juga janggal,” jelas Ansar.

Ansar mengemukakan, ada beberapa kejanggalan yang patut dicermati. Pertama, proyek Galesong Hospital diresmikan 20 Desember 2022. Sementara progres di lapangan, proyek masih dengan bobot 75 persen.

“Jadi kesannya peresmian ini dikebut padahal bangunan belum siap. Seolah olah peresmian ini untuk mengejar masa jabatan Bupati Takalar yang waktu itu akan lengser 22 Desember,” papar Ansar.

Lalu yang kedua, setelah peresmian 20 Desember, 23 Desember terbit surat perintah membayar (SPM). Pembayaran ini adalah tahap akhir dengan nilai Rp16,5 miliar.

“Dan pembayaran dilakukan sehari setelah Bupati Takalar berakhir masa jabatannya. Nah ini yang saya katakan seolah olah pembayaran ini dikebut untuk memburu berakhirnya masa jabatan Bupati,” tandasnya.