MAKASSAR – Lembaga Antikorupsi Sulawesi Selatan (Laksus) resmi melaporkan dugaan penggelembungan anggaran (mark up) pembelian obat di RSUD Syekh Yusuf, Kabupaten Gowa ke Ditreskrimsus Polda Sulsel, Kamis (7/9/2023). Laksus mendorong Ditreskrimsus memberi prioritas pada penanganan kasus ini.

“Ada beberapa pertimbangan kami melaporkan kasus ini. Pertama, nilai anggarannya cukup besar. Yakni Rp10 miliar. Kedua, modus yang mereka gunakan kami duga sudah berlangsung lama,” tandas Direktur Laksus Muhammad Ansar, Kamis (7/9/2023).

Ansar mengurai, realisasi anggaran belanja barang RSUD Syekh Yusuf Gowa Tahun Anggaran 2023 sebesar Rp10,6 miliar. Ini untuk pengadaan obat dan BMPH dengan menggunakan 2 (dua) metode pengadaan, yakni e-katalog dan non e-katalog.

“Di mana dari hasil temuan kami untuk pengadaan e-katalog anggaran yang telah digunakan sebesar Rp6 miliar. Sementara untuk metode pengadaan non e-katalog sebesar Rp3 miliar,” bebernya.

Ansar menyebutkan, adanya dua metode pengadaan, dengan e-katalog dan non e-katalog menimbulkan masalah. Sebab ini bertentangan dengan juklak-juknis pengadaan obat dan BMPH.

Menurutnya, diketahui seluruh item pengadaan wajib menggunakan e-katalog.

“Sehingga kami menduga apa yang dilakukan oleh pihak PPK merupakan akal-akalan untuk mencari selisih harga keuntungan pada pengadaan non e-katalog. Bahwa permasalahan tersebut diatas sangat bertentangan dengan Perpres No 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa serta Peraturan LKPP No. 9 Tahun 2021 tentang Toko Daring dan Katalog Elektronik dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta Keputusan Kepala LKPP No. 122 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Katalog Elektronik,” tandasnya.

Ansar menjelaskan, apa yang dilakukan oleh PPK RSUD Syeh Yusuf Gowa merupakan salah satu tindakan yang mengarah ke perbuatan melawan hukum. Menurut dia, dapat dibuktikan dari perubahan metode pengadaan e-katalog ke metode non e-katalog atau dengan kata lain menggunakan 2 metode pengadaan dalam satu item pekerjaan yang pada dasarnya wajib mengikuti juklak juknis pengadaan.

“Jika petunjuknya pengadaan dilakukan dengan metode e-katalog maka wajib melaksanakan pengadaan barang secara keseluruhan dengan metode e-katalog. Kecuali jika pihak PPK melakukan justifikasi atas beberapa barang yang tidak bisa diadakan melalui e-katalog,” sebutnya.

Bahwa perlu diketahui kata Ansar, PA, PPK dan Panitia Pengadaan sebelum menetapkan metode pemilihan untuk mendapatkan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya wajib melihat dan memperhatikan juklak juknis dalam menggunakan metode pengadaan apakah berbentuk E-purchasing, pengadaan langsung, penunjukan langsung, ataukah tender cepat.

Bahwa pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, terdapat batasan nilai untuk pengadaan barang/jasa pemerintah menggunakan metode E-purchasing, dimana batasan nilai pengadaan E-purchasing untuk Pejabat Pengadaan adalah paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), sedangkan untuk PPK adalah paling sedikit di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan untuk nilai pengadaan E-purchasing lebih dari Rp100 miliar, wajib mendapat persetujuan PA/KPA.

“Bahwa Katalog Elektronik Daerah adalah Katalog Elektronik yang disusun dan dikelola oleh Pemerintah Daerah, dimana para SKPD atau OPD dapat melakukan belanja dengan system E-purchasing, sehingga jika pihak PPK beralasan bahwa ada barang yang belum terbayarkan ditahun sebelumnya, maka pertanyaan kenapa bisa terjadi, apakah ketersediaan anggaran untuk pembelian barang kurang atau tidak cukup sehingga harus dipaksakan,” tukasnya.

Masih kata Ansar, dari seluruh rangkaian proses ini, patut diduga pada praktiknya ada oknum-oknum di RSUD Syekh Yusuf yang dalam melaksanakan pengadaan sengaja mengarahkan agar pengadaan tidak secara penuh dilakukan secara e-katalog. Sehingga memungkinkan terjadi persekongkolan dengan melakukan perjanjian atas fee.

“Diduga karena adanya persekongkolan antara oknum RSUD Syekh Yusuf dan oenyedia dalam mengarahkan paket tersebut dan telah disetting untuk kepentingan para pihak yang bersekongkol dalam pemufakatan jahat. Di mana dugaan persekongkolan yang dilakukan dapat dibuktikan melalui kesepakatan-kesepakatan tidak tertulis, di mana kolusi dan persekongkolan bertujuan untuk mengarahkan pengadaan non e-katalog kepada penyedia tertentu,” ujar Ansar.

Dari sinilah kata Ansar, diduga terjadi penggelembungan atau mark up harga.

“Kerugian yang ditimbulkan akibat dari persekongkolan tersebut antara lain. Terjadi pembiayaran pengurangan kualitas barang namun tetap disetujui, sehingga sangat diragukan kualitasnya. Diduga paket pengadaan tersebut di mark-up dan telah diarahkan untuk kepentingan salah satu penyedia, sehingga diduga sudah ada kesepakatan fee. Segala permasalahan tersebut diatas akan memicu terjadinya pembohongan informasi atas dokumen berita acara serah terima pekerjaan, yang menyatakan bahwa pengadaan telah dilakukan sesuai dengan kontrak, namun pada kenyataannya pengadaan tersebut tidak sesuai syarat dan spesifikasi yang dipersyaratkan,” jelasnya.

Karena itulah, Ansar berharap kasus ini segera dapat ditindaklanjuti oleh Polda Sulsel.

“Agar kita bisa buka kasus ini terang benderang. Tak hanya PPK yang bisa diperiksa. Banyak pihak pihak terkait juga memungkinkan terlibat di sini. Sebab kami menduga ada persekongkolan yang melibatkan banyak pihak,” pinta Ansar. (*)