Mahar Politik dan Korupsi
Opini, Matasulsel – Topik tentang mahar politik sejatinya adalah topik basi yang selalu mencuat setiap musim pilkada tiba. Kali ini berbeda, topik lazim yang sering dilupakan ini menjadi luar biasa dan mungkin akan langgeng dalam ingatan publik nasional.
Aksi unjuk suara oleh Ketua Kadin Jawa Timur, La Nyalla Mahmud Mattalitti tentang ‘palak Rp40 Miliar’ bukan sesuatu yang mudah dilupakan. Apalagi nama baik pendiri Partai Gerindra Prabowo Subianto adalah taruhannya. Bukan cuma soal mahar, nyanyian La Nyalla bahkan merembes sampai kepada ihwal konspirasi aksi bela Islam 212.
Garis demarkasi antara politik uang dan biaya politik memang sulit dibedakan. Mahar politik sendiri memiliki makna ambigu. Bagi politisi ia dipahami sebagai political cost (biaya politik), namun bagi awam, ia dipahami sebagai politik transaksional alias money politics (politik uang).
Terkait kasus La Nyalla dan Partai Gerindra, ketidaksanggupan menyediakan mahar Rp40 Miliar konon menjadi penyebab La Nyalla kehilangan kans mendapatkan tiket maju di Pilgub Jatim. Meski informasi belum berimbang, sebab hanya berasal dari sumber sepihak, pengakuan La Nyalla menjadi amunisi media massa untuk menggebuk Prabowo Subianto dan Partai Gerindra jelang Pilpres dan Pileg 2019.
Bila kita hanya ikut larut dalam debat etis tidaknya keberadaan mahar politik, maka pasti tak akan ada hikmah yang bisa dipetik dari seteru La Nyalla dan Partai Gerindra. Sama seperti isu-isu sebelumnya, isu ini akan kembali menjadi pembincangan basi dan dilupakan esensinya. Tergantikan oleh isu-isu baru yang lebih hangat.
Istilah dan konsep mahar berasal dari yurisprudensi agama Islam. Kata ini berakar dari bahasa Arab, Mahr yang mengacu pada ketentuan tentang pemberian wajib calon suami kepada calon istri yang disampaikan pada waktu ijab kabul akad nikah (mas kawin). Besar-kecilnya bergantung pada kesanggupan calon suami dan menjadi hak milik istri sepenuhnya.
Dalam satu dasawarsa terakhir, istilah mahar politik mulai beken digunakan dan dipahami sebagai transaksi di bawah tangan (illicit deal) antara seorang calon pejabat dengan partai politik yang menjadi kendaraan politiknya. Biasanya transaksi ini melibat dana dalam jumlah besar.