Makassar, Matasulsel – Aksi unjuk rasa atau demonstrasi, dilakukan oleh Fron Maluku Utara Bergerak cabut UU Cipta Kerja Omnibus Law, gerakan yang dilakukan Massa Aksi karena menggingat bahwa perampasan ruang hidup rakyat sudah berulang kali secara D’fakto atau pengalaman saat investor masuk dan berproduksi di beberapa wilaya salah satunya Maluku utara. Maka Aksi unjuk rasa meminta kepada DPR RI dan WALIKOTA ternate segerah mengeluarkan surat peryataan sikap tolak UU cipta kerja Omnibus Law di hadapan Massa Aksi Gedung walikota ternate dan harus serius menanggapi isu nasional karena mencederai.

Buruh,Petani,Nelayan apabila Aksi demonstrasi kami pada hari Selasa sore 04:23( 20/10/2020) tidak di responsif atau akomodir dengan baik yakin dan percaya gelar Aksi akan berlanjut terus sampai UU cipta kerja Omnibus Law di cabut.

Sebagaimana Aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang diisi oleh Fron Maluku Utara Bergerak tersebut dilaksanakan setelah UU cipta kerja Omnibus Law disahkan oleh DPR RI. Puast, Provinsi sampai Daerah kebijakan regulasi yang di motori atas birokrasi pemerintah pusat bentuk sebuah konsesus (kesepakataan), kepentingan investasi perihal nilai guna yang dibutuhkan pihak kedua dalam hal ini kepentingan minoritas atau sebagian kelompok.

Pemgesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law oleh DPR RI pada 5 Oktober lalu, gelombang protes rakyat dari hampir seluruh daerah di Indonesia. Aksi unjuk rasa serentak nasional dilakukan, tapi pengesahan Omnibus Law seakan tampa hambatan . Anggota DPR RI seperti menutup mata dan telinga sambil gencar mengetuk palu pengesahan , berjuta-juta rakyat tumpah ruah di jalanan lakukan protes , pihak polisi melakukan tindakan anarkis terhadap massa aksi di dipukul di tangkap, demi memberi perlawanan deretan kebijakan penguasa yang pro oligarki (persekongkolan penguasa). Tapi fakta yang terjadi justru pelik. Presiden , cabinet kementrian, DPR RI, dan Polri seperti bergandengan tangan mengeroyok, memukul, dan membungkam suara perlawanan rakyat Indonesia.

Dibalik pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law secara buru-buru dan inprosedural (diluar aturan), terdapat sejumlah pasal kontroversial, dan nyata-nyata tidak berpihak kepada rakyat. Missal pada passal 88C UU Cipta Kerja, UMK(Upah Mininum kota/kabupaten) akan di hapus sebagai dasar upah minimum pekerja. Dalam hal ini tentu menyebabkan upah minimum dipukul rata pada semua kota dan kabupaten, tanpa mempertimbangkan biaya hidup yang berbeda-beda pada setiap daerah . secara konsekuen, aturan minimum yang diatur sebelumnya pada pasal 91 dalam UU Ketenagakerjaan dihapus. Itu menunjukan bahwa aturan upah minimum untuk standar upah buruh hilang dari tanggung jawab pemerintah . pemerintah melepas tanggung jawab pada rakyat. UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti yang sebelumnya diatur pada UU ketenagakerjaan dalam pasal 93 ayat 2. Cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan, dihapus. UU cipta kerja juga dihapus izin atau cuti khusus keperluan menikah, menikahkan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan /keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga satu rumah yang meninggal dunia. UU ini juga menghapus ketentuan ibadah yang diperintahkan agamanya, dan menghilangkan pelaksanaan tugas berserikat sesuai persetujuan penguasa, dan pelaksanaan tugas pendidikan. Sejumlah pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja Omnibus Law ini, disamping masih banyak lagi pasal –pasal yang segudang alasan untuk katakan Tolak UU Cipta Kerja Omnibus Law.

Selain dari pasal-pasal di atas yang jelas akan membunuh kesejahteran dan kebebasan buruh. UU Cipta Kerja ini juga berdampak serius pada masalah lingkungan dan hak tanah masyarakat adat. Aturan perizinan lingkungan yang sebelumnya menjadi wewenang komisi penilaian amdal (analisis dampak lingkungan) yang dibentuk oleh menteri dan daerah, kini sepenuhnya dikembalikan ke pusat. Hal ini diatur dalam pasal 24 ayat 1 UU Cipta Kerja Omnibus Law.

Kebijakan ini pertanda bahwa amdal akan dilemahkan, dan tentunya itu akan berdampak serius pada pelestarian alam. Masalah serius lainnya adalah proses perizinan yang tidak lagi melibatkan masyarakat umum, rakyat tak dapat lagi mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal pada peraturan baru tersebut. Dan secara tidak langsung, izin usaha yang hanya jadi wewenang pemerintah pusat, ditamba rakyat tidak lagi memiliki hak keberatan, maka dengan sendirinya hak-hak masyarakat adat atas tanah yang sudah ribuan tahun menjadi komunitas tempat mereka bergantung hidup, pun akan sirna dan dirampas.

Menurut Lukas Luwarso, tujuan-tujuan praktis yang menyingkirkan imajinasi dan yang memperlakukan rakyat bagai keledai-keledai bodoh yang harus menurut tunduk pada telunjuk penguasa.
Disini pula, aktivis mahasiswa ini menggunakan penanda bagi dirinya mahasiswa dengan rakyat. Bahwa penanda patokan-patokan aktivitas rakyat itu disejajarkan dengan patokan-patokan aktivitas mahasiswa. Id

Penulis : Fikran