Manuver Kelompok Tolak Omnibus Law di Ranah Medsos
Jakarta, Matasulsel – Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus law Cipta Kerja yang di inisiasi pemerintah terus mengalami pro kontra dalam prosesnya. Hiruk pikuk aksi pro kontra mewarnai jagat dunia nyata maupun maya. Berbagai elemen baik itu buruh, mahasiswa, akademisi, pengusaha, dan LSM turut meramaikan dinamika proses RUU omnibus law ini.
Omnibus Law Cipta kerja merupakan sebuah konsep undang-undang yang diusulkan pemerintah. Omnibus law sendiri dapat diartikan sebagai undang-undang yang bersifat lintas sektor dan dibuat antara lain untuk menghindari tumpang tindih regulasi. Namun maraknya perbincangan mengenai omnibus law tidak diimbangi dengan tingkat pemahaman masyarakat di Indonesia mengenai konsep omnibus law itu sendiri
Dalam dunia maya atau media sosial omnibus law akhir-akhir ini diskursus yang paling sering diperbincangkan selain pandemi covid-19. Kencangnya perbincangan soal RUU Omnibus Law karena RUU ini oleh sebagian elemen masyarakat dinilai makin menekan kehidupan buruh, berpotensi maraknya kerusakan lingkungan, dan penggusuran. Disamping itu, sebagian juga ada yang menyoroti soal kejanggalan proses pembuatan RUU ini.
Sementara sebagian elemen yang lain menilai RUU Omnibus Law dianggap strategi yang ampuh meningkatkan ekonomi Indonesia melalui investasi dan kemudahan usaha. RUU ini dianggap sebagai langkah jitu pemerintah terhadap tumpang tindihnya peraturan perundangan guna tingkatkan kesejahteraan masyarakat.
RUU Cipta Kerja juga dianggap dapat menjadi jalan keluar untuk mengatasi tingkat pengangguran, angkatan kerja baru dan jumlah penduduk yang tidak bekerja. Apalagi saat ini, jumlah UMKM di Indonesia cukup besar, tapi produktivitasnya masih rendah. Hal ini tentu menjadi harapan baik karena RUU ini menjamin kemudahan proses usaha bagi umkm.
Meski demikian frekuensi paling tinggi di dalam media sosial masihlah seputar perbincangan penolakan RUU Omnibus Law daripada yang pro RUU ini.
Ini menunjukkan bahwa elemen masyarakat yang kontra RUU ini menganggap media sosial sangat efektif digunakan sebagai aspirasi suara atau strategi gerakan untuk mempengaruhi persepsi khalayak masyarakat terkait kebijakan pemerintahan.
Banyak kelompok yang menolak RUU Omnibus Law menggunakan media sosial sebagai manuver gerakan protes mereka.
Tengok saja #GejayanMemanggil memicu demontrasi besar-besaran yang hampir semua elemen masyarakat ikut berpartisipasi. Ditambah pula ada aksi lanjutan dengan
#GejayanMemanggilLagi. Fenomena ini menunjukkan rangkaian awal gerakan masyarakat sipil bisa tercipta melalui seruan di media sosial.
Apalagi, baru-baru ini puluhan pekerja melakukan manuver aksi demontrasi ke beberapa akun media sosial maupun aplikasi chatting WhatsApp pimpinan Badan legislatif (Baleg) DPR. Sekitar 10 ribu buruh mengirimkan pesan penolakan RUU Omnibus Law ke pimpinan baleg DPR, khususnya pada klaster ketenagakerjaan.
Tentu aksi ini merupakan busa jadi kali pertama demontrasi terbesar melalui media yang pernah dilakukan salah satu elemen masyarakat Indonesia. Pola demikian juga dianggap efektif dalam demontrasi karena bisa terhubung langsung ke pihak-pihak bersangkutan.
Tidak harus panas-panasan, teriak-teriak yang terkadang belum tentu bisa komunikasi langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Meski begitu, banyak juga kelompok-kelompok yang mengatasnamakan tolak Omnibus Law di media sosial tetapi sebenarnya bertujuan memperkeruh suasana.
Kelompok-kelompok ini memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat dengan menyebar disinformasi terkait RUU Omnibus Law.
Singkat kata,media sosial tak boleh dipandang sebelah mata. Pada peristiwa ini, media sosial berhasil menciptakan gerakan massal dengan pola yang baru. Media sosial juga dapat menyulut persepsi masyarakat yang sama.
Kini platform media sosial dapat dijadikan ujung tombak bergulirnya gerakan maupun alternatif gerakan untuk mengangkat isu, menyerukan gerakan, memobilisasi massa hingga membuat perubahan sosial.
Dari ketukan jari bisa menjadi letupan aksi. Tentu konten di media sosial juga tidak semua benar, banyak pula yang disinformasi. Pada akhirnya kita semua perlu cermat dan bijak dalam menggunakan media sosial.(*)
Terbit : Kamis, 23 April 2020.
Sumber : Almira Fadhillah (Pasca Sarjana Universitas Gunadharma)