MAKASSAR, MATASULSEL – Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan menggelar program Ma’REFAT Informal Meeting (REFORMING) pada Minggu 28 September 2025. Pada seri yang ke-26 ini, mengangkat tema diskusi: “Menafsir Arah Gerakan Mahasiswa serta Gerakan Sosial di Tengah Sistem Kekuasaan dan Pemerintahan yang Problematik.”

Bertempat di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar, diskusi siang tersebut menghadirkan dua orang pemantik, yakni Prof. Amran Razak, SE., M.Sc selaku Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unhas dan Aktivis Gerakan Mahasiswa Era 70-80an, serta Andi Manarangga Amir selaku Aktivis Pemberdayaan Komunitas dan Gerakan Sosial, yang juga Aktivis Gerakan Mahasiswa Era 90-an.

Prof. Amran Razak membuka dengan refleksi panjang atas perjalanan gerakan mahasiswa di zamannya. Baginya, peran mahasiswa bukan menyelesaikan masalah atau memberikan solusi secara langsung, melainkan menyuarakan kepentingan rakyat serta ketimpangan kebijakan pemerintah.

“Gerakan mahasiswa dan gerakan sosial merupakan instrumen penting dalam dinamika demokrasi,” ujar Prof Amran. Di tengah sistem kekuasaan dan pemerintahan yang problematik— ditandai oleh lemahnya akuntabilitas, oligarki politik, kesenjangan sosial-ekonomi, dan nihilnya ruang partisipasi publik – gerakan ini memiliki peran ganda: sebagai pengontrol sekaligus agen perubahan.

Prof. Amran menilai, salah satu pekerjaan rumah terbesar gerakan mahasiswa hari ini adalah revitalisasi basis intelektual. Menurutnya, mahasiswa harus kembali mengasah analisis kritis berbasis riset agar gerakan tidak terjebak dalam slogan kosong. Di sisi lain kaderisasi dalam gerakan mahasiswa semakin melemah. Regenerasi aktivis berjalan lambat yang justru berbanding terbalik dengan meningkatnya pragmatisme politik di kalangan mahasiswa.

Manarangga, narasumber kedua, menghadirkan perspektif yang berbeda dari rekannya. Dengan nada reflektif, ia bercerita tentang masa mudanya di penghujung 1990-an ketika dirinya memilih beralih dari mahasiswa ke dunia Lembaga Swadaya Masyarakat. Pasca-Reformasi, banyak tuntutan masyarakat yang tidak terwujud. Kondisi ini menurutnya, membuat banyak gerakan di masa itu bergerak dari basis komunitas. “Pada dekade 1990-an, aktivitas gerakan lebih banyak dilakukan di komunitas, berpindah dari satu desa ke desa lain,” ujarnya.

Pengalaman itu membuatnya melihat langsung denyut kehidupan masyarakat di akar rumput. Gerakan bukan semata-mata demonstrasi di jalan, melainkan kerja panjang membangun kesadaran di tingkat tapak. Dari persentuhan dengan masyarakat secara langsung, lahirlah agenda yang kemudian dibawa ke ruang akademis dan politik.