MAKASSAR – Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan kembali menggelar agenda Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING) yang ke-19, pada Minggu 19 Januari 2025. Mengusung tema “Menelaah Dinamika Perkembangan Kota Makassar serta Tantangannya Di Masa Mendatang.” Kegiatan ini dilaksanakan tepat pukul 14.00 WITA di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT, Kota Makassar.

Agenda kali ini menghadirkan Dr. Ilham Daeng Makkelo, M.Hum yang saat ini berprofesi sebagai Dosen sekaligus Kaprodi Departemen Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin dan Mohammad Muttaqin Azikin sebagai Planolog serta Pemerhati Tata Ruang dan Lingkungan pada Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan.

Mengawali tahun 2025, Kota Makassar kembali menjadi sorotan dalam diskusi hangat yang dilaksanakan hari itu. Diskusi ini tidak hanya menggali sejarah panjang Kota Makassar, tetapi juga menyoroti berbagai masalah yang dihadapi saat ini, hingga penggalian solusi dan rekomendasi untuk penataan tata ruang yang lebih baik.

Makassar, kota yang berusia lebih dari 400 tahun, telah mencatatkan namanya sebagai salah satu pusat peradaban penting di Indonesia. Berdiri resmi sebagai Kota Madya pada 9 November 1607, kota ini memiliki sejarah sebagai pelopor, termasuk dalam perdagangan rempah dunia dan sebagai lokasi perpustakaan Islam terbesar pada zamannya.

Namun, perjalanan kota ini tidak lepas dari berbagai tantangan. Arifin selaku moderator menyampaikan, berbagai persoalan dari alih fungsi lahan, sanitasi, hingga ketahanan energi dan pengelolaan sampah terjadi di Makassar. Setidaknya, kota ini menghadapi 86 permasalahan utama yang memengaruhi upayanya untuk menjadi Kota Dunia yang berkelanjutan dan inklusif, sebagaimana visi besar Makassar untuk 2045 yaitu menjadi Kota Dunia yang “Sombere dan Smart untuk Semua”. Namun, betulkah kota ini sedang menuju ke arah sana?

“Untuk memahami dinamika Kota Makassar, saya ingin menyoroti tiga aspek penting yang saling terkait: pertama, modernisasi yang terus berlangsung; kedua, isu lingkungan yang semakin mendesak; dan ketiga, peran sejarah dalam membentuk identitas kota,” ungkap Ilham Daeng Makkelo sebagai pemantik awal.

Sebagai kota dengan sejarah panjang, Makassar pernah berjaya menjadi pusat perlintasan budaya, perdagangan dan peradaban sejak abad ke-16. Kota ini menjadi mata rantai utama Jalur Sutra, menghubungkan Eropa dengan Asia Tenggara, hingga ditetapkan sebagai pelabuhan bebas oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1853, demi bersaing dengan Singapura yang dibangun oleh Inggris. Kini, kejayaan tersebut seolah hanya menjadi cerita sejarah di tengah perubahan zaman.

Makassar memiliki potensi besar dengan keberadaan museum, situs budaya dan temuan arkeologis, seperti jejak peradaban manusia berusia 40.000 tahun di Kabupaten Maros. Namun, pemanfaatannya sebagai daya tarik budaya masih sangat terbatas. Menurut Akademisi Universitas Hasanuddin ini, “Pemerintah kota kurang optimal memadukan temuan-temuan ilmiah dan warisan sejarah untuk menjadi elemen pendukung pembangunan (kota) modern yang mampu menarik perhatian dunia.”

Pada masa Daeng Patompo menjabat sebagai Walikota, Makassar telah memiliki _Master Plan_ pembangunan. Kota ini dibagi sesuai zona pembangunannya, mulai dari zona pemerintahan, perekonomian, pemukiman, pendidikan, dan wisata. “Tapi setelah tahun 1970-an, Makassar mengalami lonjakan pembangunan yang sangat masif. Sayangnya, pembangunan itu tidak berjalan sesuai dengan Master Plan yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga, saat ini kita bisa melihat Kota Makassar tidak memiliki integrasi antar satu wilayah dengan wilayah lainnya.” Pungkas dosen yang akrab disapa Daeng Makkelo ini.

Kita dapat dengan mudah menemui banyak masalah tata ruang, mulai dari pengurangan taman kota, banjir, dan kemacetan kota. Padahal dalam pembangunan kota harus memperhatikan 3 aspek, yaitu: ruangnya, tanggapan masyarakat, dan masalah sosial yang akan ditimbulkan dalam pembangunan. “Masyarakat juga harusnya dilibatkan dalam pembangunan, untuk bersama-sama menciptakan kota yang nyaman untuk ditempati,” pungkas Daeng Makkelo mengakhiri sesinya.

Mohammad Muttaqin sebagai pemantik kedua, mengawali pemaparannya dengan pertanyaan, “Apakah perkembangan Kota Makassar hari ini baik-baik saja?”

Makassar memiliki sistem perencanaan dalam menjalankan pembangunan kota. Ada dua jenis sistem perencanaan, yaitu perencanaan pembangunan (development planning) dan perencanaan spasial (spatial planning). “Sayangnya, dalam perkembangan Makassar, kedua instrumen ini tidak digunakan secara optimal, yang menyebabkan berbagai persoalan muncul.” Kata Muttaqin menjabarkan masalah.

“Kota terbaik bagi kamu adalah tempat di mana kehidupan dirimu diatur dengan sistem.” Demikian dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Namun di Makassar— masih dalam penjelasan Muttaqin— sistemnya ada, tetapi tidak digunakan. Dokumennya ada, tetapi tidak dijalankan secara maksimal.

Saat ini, kita menghadapi permasalahan pembangunan di Kota Makassar, terutama pada persoalan keseimbangan wilayah. Pembangunan lebih banyak terkonsentrasi di area tertentu, seperti pesisir barat Makassar, sementara daerah pinggiran seperti tak mendapatkan perhatian. “Keterkaitan antara wilayah-wilayah dalam kota tidak terjadi, yang menyebabkan bagian-bagian kota tidak saling berhubungan. Di masa lalu, keterkaitan antar wilayah sangat diperhatikan, namun sekarang hal ini tidak terlihat lagi.”

Muttaqin melanjutkan, “Kota yang ideal adalah kota yang mampu membawa masyarakatnya menuju kebahagiaan sejati. Namun, ini sulit dicapai jika kepemimpinan kota tidak mumpuni atau tidak memiliki visi yang jelas.”

Peserta diskusi juga memberi berbagai tanggapan, salah satunya pembangunan Kota Makassar menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan. Pembangunan selalu melahirkan dampak, baik positif maupun negatif. Sayangnya, penguasa dan pemimpin daerah sering kali hanya fokus pada kemajuan yang berorientasi pada pertumbuhan dan keuntungan, tanpa mempertimbangkan berbagai dampak negatif pembangunan yang hadir setelahnya.

Muttaqin menanggapi, “Harapan untuk perkembangan kota ini bukanlah sesuatu yang muluk-muluk. Jika dalam lima tahun ke depan, pemerintah mampu mengurangi beberapa persoalan signifikan, itu sudah menjadi langkah besar.”

Misalnya saja, fokus pada perbaikan pelayanan dasar seperti pengelolaan sampah, penyediaan air bersih, transportasi publik yang layak, dan mitigasi banjir akan membawa dampak positif yang nyata. Jika cakupan wilayah terdampak banjir dapat dikurangi dari 12 kecamatan menjadi 10 atau bahkan 6 kecamatan, itu sudah menunjukkan kemajuan yang berarti.

Namun, jika tidak ada perubahan substansial dan hanya berkutat pada jargon-jargon semata, Kota Makassar terancam terjebak dalam stagnasi yang berkepanjangan. “Saya khawatir, tanpa arah yang jelas, Makassar dapat mengarah pada salah satu dari tiga kategori kota yang disebut oleh Al-Farabi, yaitu Kota Jahiliyah (bodoh), Kota Fasiq (durhaka), atau Kota Sesat, dan bukannya menjadi Al-Madinah Al-Fadilah (Kota Utama yang Ideal),” ungkap Muttaqin menutup pemaparannya.

Dalam diskusi ini, hadir berbagai peserta dari latar belakang yang berbeda, mulai dari akademisi, pengusaha, hingga aktivis sosial, berkumpul untuk membahas transformasi Kota Makassar dengan refleksi mendalam tentang sejarah, dinamika masa kini, hingga strategi menghadapi tantangan masa depan. Diskusi diakhiri pada pukul 16.30 Wita. (*)