Masyarakat Moncongloe Lappara Gelar Acara Adat Gallarang Ri Moncongloe
Maros, Matasulsel – Kegiatan Adat Gallarang ri MoncongloE, tidak terlepas dari sejarah terbentuknya MoncongloE, sebelum menjadi salah satu distrik adat-Gemenschaap yang tergabung dalam Onderafdeeling Maros, yaitu MoncongloE adalah salah satu negeri bawahan Kerajaan Tallo.
Setelah penguasaan Belanda terhadap seluruh kerajaan lokal Sulawesi Selatan tahun 1824, maka MoncongloE di masukkan ke dalam Wilayah Maros bersama Bira, Sudiang dan Biringkanaya dengan Kepala Pemerintahan bergelar Gallarang dan keempat Distrik Adat Gemenschaap tersebut, populer dengan Gallarang Appaka.
Kondisi alam MoncongloE yang dipenuhi perbukitan, sehingga diperkirakan menjadi asal muasal kata atau penamaan MoncongloE. Dalam bahasa Makassar Moncong berarti gunung, LoE berarti banyak.
Di Desa ini, pesta panen telah menjadi momen paling ditunggu masyarakat yang hidupnya masih menggantungkan pada pertanian. Seperti yang dilaksanakan masyarakat di Desa Moncongloe Lappara, Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros yang mayoritas penduduknya petani.
Salah satu yang menarik dari desa ini, bukanlah hasil tani yang mereka tuai tiap tahunnya. Namun bagaimana mereka mempertahankan tradisi leluhur mereka saat panen raya yang disebut dengan “Gallarang ri Moncongloe,” yang dirangkaikan dengan acara adat seperti, Assongkolo Ase Lolo (memasak padi muda), Angnyanggara Ase Lolo (Menggoreng Padi Muda), Addengka ase lolo (menumbuk padi muda), dan Sangkena attapi ase lolo (membersihkan padi muda), yang dilanjutkan dengan bersiarah ke makam Orang Tua Syech Yusuf Tajul Al-Khalwatiah Al-Maqassari “Tuanta Salamaka.”
Ritual itu tak berdiri sendiri, peringatan pesta panen sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang digelar masyarakat Moncongloe, semakin marak dengan adanya acara adu betis atau yang mereka sebut sebagai
Mappalanca.
“Mappalanca merupakan tradisi turun-temurun sekaligus sebagai permainan rakyat yang biasa dilakukan setelah masa panen,”
Anehnya peserta yang terlibat dalam adu betis, sedikitpun tak merasakan sakit. Mereka justru kian bersemangat mengadukan betisnya diiringi bunyi-bunyian merdu yang dihasilkan dari Tumbuk Lesung.
Kepala Desa MoncongloE Lappara, Kecamatan, MoncongloE, Kabupaten Maros, Sirajuddin mengatakan, tradisi ini, merupakan pengungkapan rasa syukur kepada sang pencipta, yang telah memberikan reski dan rahmatnya kepada masyarakat MonconloE, sehingga panennya berhasil,.
“Dalam pelaksanaan Adat Gallarang ri MoncongloE, peserta wajib mengenakan busana adat. Perempuan mengenakan baju bodo aneka warna. Begitupun yang laki-laki, mengenakan jas warna-warni, songkok dan sarung ,” kata Surajuddin.
Acara adat ini dimulai dari kompleks Makam Ayah Syech Yusuf, pejuang syiar Islam di Sulawesi Selatan yang digelar dengan nama Gallarang Moncongloe, yang sekaligus menjadi lokasi adu betis.
Sementara Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maros, Muh. Ferdiansyah mengakui, sangat mendukung penyelenggaraan Acara Adat Gallarang ri MoncongloE, karena acara Adat Gallarang ri MoncongloE, merupakan salah satu kekayaan khasanah budaya Indonesia yang harus dilestarikan, sehingga pesta adat tersebut akan dijadikan kegiatan tahunan sebagai promosi Kabupaten Maros, menjadi destinasi tujuan wisata di Wilayah Sulawesi Selatan, yang layak dijual kepada wisatawan Nusantara maupun Mancanegara,.
Ferdy berjanji akan mendata kembali kegiatan serupa untuk dikembangkan menjadi potensi tujuan wisata, tutup Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maros, Muh. Ferdiansyah. (*/anto)