Oleh : Muh. Amar Amri Asnur

Selasa, penghujung September 2025. Di tanah Jeneponto yang berjuluk Turatea, ada sebuah perayaan yang tidak sekadar upacara, melainkan sebuah kisah cinta yang dihidupkan oleh ribuan benda. Namanya, Maudu’ Turatea. Ia adalah sebuah dialog rindu antara umat dan Kekasih Agung mereka, Rasulullah Muhammad SAW.

Coba tataplah Bakul dan ember Maulid itu. Ia tidak lagi sekadar menjadi wadah; ia adalah hati yang terbuka, tangan yang terentang, dan saksi bisu dari ketaatan. Setiap bakul, setiap ember yang tegak berdiri, seolah memiliki denyut nadi yang bergetar penuh syukur atas kelahiran sang Nabi.

Cinta kepada Rasulullah tidak cukup hanya kata-kata di bibir; ia harus menjelma dalam perbuatan. Dan di sinilah keajaiban Maudu’ Turatea bermula. Pangan yang tersaji dalam bakul dan ember maulid itu—semuanya adalah puisi yang tersusun dari kemurahan hati.

Bakul itu berisi dengan beratnya rezeki, bukan karena beban, melainkan karena kerelaan untuk memberi. Ia bersuara tanpa kata, menyampaikan pesan bahwa ajaran Rasulullah tentang kasih sayang dan sedekah adalah napas yang hidup dan bersemi di Turatea.

Foto. Muh. Amar Amri Asnur

Dan gagasan itu pun bercahaya dari Bupati Paris Yasir dan Wabup Islam Iskandar, sebagai wujud cinta yang menemukan arah yang paling mulia, melalui berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Baku dan ember maulidl itu menjelma menjadi utusan kasih, berjalan menuju pintu-pintu kemiskinan, menyeka air mata, dan menghangatkan perut yang kedinginan. Inilah personifikasi paling indah dari hadis Nabi: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.

Maudu’ Turatea adalah Ladang Pahala yang luas, membentang di bawah langit Jeneponto.

Di saat tangan-tangan yang tulus merangkai dan mengisi bakul, bagai air suci yang menyuburkan niat baik. Setiap salawat yang terlantun, setiap keikhlasan yang tercurah, adalah butiran emas yang ditanam di ladang ini. Ladang ini mengajak setiap orang untuk menanam kebaikan, menjanjikan panen keberkahan yang berlimpah.

Bakul Maulid itu berjejer rapi sebagai harapan, bukan hanya untuk yang memberi, melainkan juga untuk yang menerima. Ketika persatuan masyarakat merajut kembali tali silaturahmi, mereka memperkuat ukhuwah Islamiah, yang merupakan sunah Rasul. Maka, setiap pembagian yang terjadi, adalah akumulasi pahala yang tak terhingga, sebuah investasi spiritual untuk hari kemudian.

Kisah cinta dan kedermawanan ini akhirnya menggapai langit dan mengetuk pintu sejarah. Maudu’ Turatea menuliskan namanya dengan tinta emas prestasi. Ketika 15.198 bakul/ember Maulid—sebuah angka yang bergetar karena besarnya—berbaris memenuhi pelataran kantor Bupati Jeneponto, yang tidak hanya menjadi tumpukan. Mereka menjelma menjadi monumen hidup dari kekompakan dan keimanan kolektif. Angka itu berteriak lantang, “Inilah persatuan kami, inilah bukti kepedulian kami, inilah kebanggaan Turatea!”.

Rekor MURI yang kini bersemayam di Jeneponto bukanlah sekadar penghargaan; ia adalah kesaksian bahwa kearifan lokal dan spiritualitas (siri’) dapat berjalan bergandengan tangan menuju puncak prestasi. Prestasi ini mengangkat harkat daerah, membangkitkan semangat kebersamaan, dan yang terpenting, membuktikan bahwa cinta kepada Nabi bisa disalurkan menjadi energi sosial yang luar biasa. Maudu’ Turatea telah mengukir bahwa di Jeneponto, tradisi Maulid adalah pesta berbagi yang terbesar, sebuah gagasan cemerlang yang membuat bakul itu tersenyum bangga karena tugas mereka mulia: menjadi juru bicara cinta dan kemanusiaan. (**)