Hingga saat ini, sudah 44 pemerintah daerah yang menerapkannya, seperti Provinsi Aceh, Provinsi Kalimantan Utara, Aceh Barat Daya, Siak, Kubu Raya, Sigi, Maros, Jayapura, Kota Dumai dan Kota Parepare. Secara agregat, anggaran EFT yang telah dialokasikan berjumlah Rp471,8 miliar.

Penerapan EFT di daerah pun telah berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan dan ekonomi desa, perlindungan lingkungan desa, dan partisipasi perempuan (Kajian World Bank 2024).

Berdasarkan pengamatan masyarakat sipil, pengaturan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologis atau Ecological Fiscal Transfer (EFT) baik melalui skema bantuan keuangan khusus maupun Alokasi Dana Desa di daerah dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah (Pergub, Perbup dan Perwali) masih belum terlalu kuat sebagai payung hukum karena rentan terhadap perubahan politis.

Kurangnya keberlanjutan dalam pelaksanaan kebijakan EFT disebabkan oleh terbatasnya jangka waktu alokasi dana yang bersifat sementara dan tidak konsisten, serta tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang yang berkelanjutan. Selain itu, landasan hukum dalam bentuk Perkada juga masih dianggap lemah.

Perkada yang seharusnya memberikan kepastian hukum sering kali rawan terhadap perubahan akibat tekanan politis atau dinamika pemerintahan lokal. Ketidakstabilan ini mengakibatkan kebijakan menjadi kurang efektif dan tidak optimal dalam mendorong pembangunan yang berkelanjutan.

Dari kondisi di atas, menjadi penting bagi pemerintah mengintegrasikannya ke dalam regulasi yang lebih tinggi seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2025-2029. Sehingga, tahapan penyusunan RPJMD 2025-2029 yang sedang dilaksanakan saat ini, menjadi momentum untuk mengintegrasikan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi ke dalam dokumen RPJMD 2025-2029 agar lebih berkelanjutan dan selaras antara agenda pemerintah pusat dan pemerintah daerah.